Kamis, 09 September 2010

PEMBAKUAN BAHASA(STANDARISASI)


PEMBAKUAN BAHASA(STANDARISASI)


1. PERENCANAAN BAHASA
Perencanaan bahasa adalah perubahan bahasa yang disengaja, yaitu perubahan dalam sistem-sistem kode bahasa atau ujaran atau kedua-duanya yang direncanakan oleh organisasi-organisasi yang didirikan untuk tujuan itu. Perencaan bahasa mengacu pada seperangkat kegiatan yang disengaja, dirancang secara sistemik untuk mengorganisir dan mengembangkan sumber-sumber bahasa dalam waktu yang direncanakan (Alwasilah, 1986: 106-107).
Jenis-jenis perencanaan bahasa
            Perencanaan bahasa dibedakan menjadi empat dan dikaitkan dengan proses perencaan itu sendiri. Keempat jenis itu adalah sebagai berikut:
1.    Pembentukan Kebijaksanaan Bahasa
Yaitu bila masalahnya adalah pemilihan kode diantara ragam-ragam bahasa yang bersaing untuk berbagi fungsi nasional. Misalnya: (1) keputusan perintah malaysia untuk menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar pengajaran pada sekolah-sekolah negeri, (2) undang-undang atau peraturan pemerintah Amerika tentang pendidikan bilingual bagi mahasiswa dan (3) penentuan bahasa hindi sebagai bahasa resmi India (Alwasilah, 1986: 115).
2.    Kodifikasi
Yaitu bila masalahnya mencari stabilisasi dalam variabilitas regional dan sosiolinguistik. Ada dua cara yang ditempuh dalam proses itu: (a) mengangkat satu variasi dari variasi-variasi yang bersaingdan (b) menyatakan satu gabungan dari dialek-dialek terpenting. Contoh bahasa shona gabungan dari unsur-unsur Zezuru, Karanga, Korekore, Menyika dan Ndau yang telah menjadi bentuk standar. Pilihan atau penciptaan variasi bahasa baku memerlukan pembuatan kamus tata bahasa atau petunjuk penggunan (Alwasilah, 1986: 115).
3.    Elaborasi
Yaitu bila masalahnya adalah penambahan fungsi-fungsi baru dari suatu kode, misalnya bila bahasa mulai dipergunakan untuk hasil-hasil teknologi dan sains. Dalam proses ini kegiatan-kegiatan perencanaan terutama pembuatan dan penyebaran istilah-istilah baru (Alwasilah, 1986: 115).
4.    Cultivation
Yaitu bila problemnya adalah pembedaan fungsional dan penentuan ‘benar’ dan ‘style’. Dalam proses ini, para perencana menyusun pedoman dan menyembangkan kreativitas sastra dalam berbagai bentuk untuk berbagai tujuan dan audiensi (Alwasilah, 1986: 116).


2. PEMBAKUAN BAHASA
            Pada dasarnya pembakuan adalah penentuan ukuran atau norma rujkan. Pembakuan bahasa adalah penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Norma itu ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan sediri atas dasar kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan (Efendi, 1984: 86).
            Pembakuan bahasa yang secara ideal bertujuan menetapkan penggunaan bahasa secara mutlak, bernalar, teratur dan lengkap sedemikian rupa sehingga norma itu disepakati, diterima oleh setiap masyarakat yang bersangkutan tidak mungkin dicapai baik dari segi teori atau kenyataan (Efendi, 1984: 87).
            Pembakuan bahasa memungkinkan bahasa yang bersangkutan tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan masyarakat pemakainya. Dalam hubungan ini, pembakuan bahasa harus ditandai oleh adanya keseimbangan antara tujuan pembakuan itu sendiri, yaitu pengadaan kerangka rujukan dan patokan sehingga terdapat keseragaman umum (Efendi, 1984: 87-88).
Pada hakekatnya pembakuan bahasa itu bukan kekayaan bahasa itu sendiri, tapi lebih merupakan suatu penyikapan istimewa masyarakat penutur bahasa terhadap bahasa, yang pada akhirnya bermuara pada pelambangan sosial, kebanggaan atau pemerlain sosial (Alwasilah, 1986: 118).



2.1 Proses pembakuan bahasa
Pembakuan adalah suatu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi. Pembakuan juga sikap masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita mengetahui bahwa sikap masyarakat akan sesuatu berproses tidak sebentar. Pada pokoknya proses standarisasi mengalami tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pemilihan (selection)
            Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan; dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi masyarakat ujaran di daerah negeri itu (Alwasilah, 1986: 119).
2. Kodifikasi
            Kodifikasi yaitu hal yang memberlakuakan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (1) otografi, (2) penerapan atau lafal, (3) tata bahasa, (4) peristilahan. Badan atau lembaga tertentu biasanya ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan; sehingga setiap orang mempunyai acuan aturan bahasa yang ‘benar’. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka warga negara yang berpendidikan akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar ragam bahasanya sendiri (Alwasilah, 1986: 121).
3. Penjabaran Fungsi
            Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran fungsi ragam yang sudah standar itu. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan melibatkan pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasaan format atau bentuk surat atau dalam penyusunan test dan lain sebagainya (Alwasilah, 1986: 121).

4. Persetujuan
            Pada akahirnya ragam bahasa itu mesti disetujui oleh anggota masyarakat ujaran sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain (Alwasilah, 1986: 121-122).


3. BAHAN STANDAR
Salah satu usaha manusia untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya dalam kehidupan manusia adalah penentuan bahasa standar dan non standar yang merupakan dua ragam dalam pemakaian bahasa sebagai hasil proses panjang dan saling berkaitan dalam peristiwa kebahasaan. Namun, bagi negara-negara majupersoalan bukan lagi menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan karena penggunaan bahasa mereka sudah mantap dan mapan (Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 119).
            Pada hakikatnya, sebuah negara menghendaki adanya suatu bahasa yang dapat dipakai sebagai alat komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaan, administrasi pemerintahan, maupun dalam bidang pendidikan. Dengan adanya suatu bahasa untuk seluruh negara, hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah, antara instansi-instansi yang ada dalam sebuah negara, serta antara pendidik dengan anak didiknya berlangsung dengan lancar dan tidak mengalami kesulitan. Oleh karena itulah perlu adanya suatu penetapan bahasa yang standar. Untuk menentkan bahasa standar, ada proses yang melewati berbagai konflik, namun ada pula yang tidak. Dalam hal penetapan bahasa indonesia, hampir tidak ada persoalan, padahal dinegara-negara lain hal ini merupan persoalanyang penting (Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 119).
            Dinegara lain terutama india, filipina, dan malaysia tidak terjadi peristiwa historis yang merintis jalan menuju pemilihan bahasa nasional sehingga proses pembakuan bahasa tidak mudah diputuskan. Sebagai contoh, sejak 1947, india telah memperoleh kemerdekaan dan telah berusaha menentukan bahasa nasionalnya untuk menggantikan bahasa inggris yang dirasakan kurang cocok bagi negara yang telah merdeka. Atas berbagai pertimbangan yang dianggap telah bijaksana, pemerintah india menetapkan bahasa urdu/bahasa hindi sebagai calon bahasa nasional yang akan diajukan keparlemen. Namun, tindakan ini tidak disetujui oleh sebagian rakyat sehingga timbul huru-hara. Masing-masing daerah menuntut agar bahasa daerahnya dapat diangkat sebagai bahasa nasional. Dengan adanya reaksi semacam itu, terpaksa pemerintah india menangguhkan penetapannya. Sampai saat ini negara india tetap tidak memiliki bahasa nasional sendiri dan bahasa inggris tetap menguasai kebahasaan di negara itu (Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 120).
            Setelah kerja pembakuan bahasa atau standar bahasa yang memang sangat dibutuhkan oleh suatu negara, dalam perkembangan selanjutnya banyak hal harus dipikirkan dan dikerjakan untuk mengembangkan bahsa tersebut, salah satunya adalah penetapan dan penciptaan istilah. Di indonesia, istilah-istilah dapat diambila dari berbagai bahasa. Bila memang dibutuhkan dan memang belum ada bahasa tersebut dalam bahasa indonesia maka ada dua cara pengambilan istilah dari bahasa lain, yakni:
1.      langsung disesuaikan dengan bahasa indonesia, baik bentuk maupun artinya.
2.      kedua masih dipinjam, dalam arti tulisannya masih dipertahankan dalam bahasa asalnya. Maksudnya, ada dua cara penciptaan istilah, yaitu dipungut dan dipinjam.


4. BATASAN BAHASA
Bahasa didasarkan pada gengsi dan ukuran. Kita memberi suatu jawaban atas dasar gengsi: Suatu bahasa adalah suatu standar bahasa. Prinsipnya pembedaan ini adalah mutlak: dimana suatu ragam adalah standar bahasa, atau bukan. Ketika kita berbalik ke pembedaan lain, berdasarkan ukuran, situasinya sangat berbeda, karena segalanya menjadi relatif contohnya, jika dibandingkan dengan satu variasi variasi terpilih mungkin besar, namun dibanding dengan yang lain hal ini mungkin saja kecil. maka, anggapan bahwa variasi utama adalah suatu bahasa, dalam 'ukuran' pengertian, jumlahnya sangat kecil. Disana, kemudian, bagaimanapun juga di mana pembedaan antara 'bahasa' dan 'dialek' berdasarkan pada ukuran dapat dibuat lebih sedikit relatif. Calon yang jelas untuk suatu ukuran ekstra adalah sebagai kejelasan timbal balik. Jika para pembicara dua variasi dapat memahami satu sama lain. Ini adalah suatu ukuran yang digunakan, tetapi hal ini tidak bisa diambil dengan serius sebab ada beberapa permasalahan serius dalam  aplikasinya. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.   Bahkan pemakaian populer tidak bersesuaian secara konsisten pada  ukuran ini variasi yang kita (sebagai orang awam) sebut perbedaan bahasa mungkin satu sama lain dapat dimengerti (e.g. yang disebut 'berbagai dialek' dari Cina). Pemakaian populer cenderung untuk mencerminkan definisi bahasa lain, berdasarkan gengsi, sehingga jika dua variasi adalah kedua-duanya bahasa baku, atau atas standard yang berbeda, mereka semestinya bahasa yang berbeda, dan dan sebaliknya mereka harus bahasa yang sama jika mereka adalah kedua-duanya diwahahstandar yang sama. Ini menjelaskan perbedaan  antara gagasan-gagasan kita pada variasi Scandinavia dan China: setiap Negara Scandinavia mempunyai suatu bahasa baku terpisah (tentu saja orang Norwegia mempunyai dua), sedangkan Cina secara keseluruhan hanya mempunyai satu. Efek dari situasi china sangat aneh: seseorang dari peking tidak dapat mengerti seseorang dari canton atau hongkong ketika dia berbicara dialaek daerahnya sendiri, tapi diperkirakan dapat mengerti secara lengkap ketika dia menulis secara standar.
2.    Kejelasan timbal balik adalah suatu tingkatan derajat, berkisar antara total kejelasan hingga menuju ke total  tidak kejelasan. Bagaimana tokoh skala ini melakukan dua variasi diperlukan dalam rangka menghitung sebagai anggota bahasa yang sama? Sudah jelas suatu pertanyaan yang lebih baik dihindari, daripada dijawab. Karena jawaban apapun pasti sembarangan. (hal ini tidak bernilai bahwa Sankoff Gilllian dalam Hudson (1983: 37) telah mengembangkan suatu sistem untuk menghitung derajat kejelasan timbal balik, yang dengan jelas menunjukkan kejelasan timbal balik itu mungkin hanya menjadi parsial ketika diberlakukan pada masyarakat tertentu.)
3.   Variasi mungkin disusun dalam suatu Dialek Berantai, suatu rantai dari variasi berdekatan di mana masing-masing pasang dari variasi berdekatan satu sama lain dapat dimengerti, tetapi pasangan yang diambil dari akhir kebalikan dari rantai adalah bukan. Satu hal seperti rangkaian dikatakan kepada peregangan dari Amsterdam menuju Jerman ke Vienna, dan lainnya dari Paris menuju selatan Italia. Ukuran dari kejelasan timbal balik adalah, bagaimanapun, berdasarkan pada suatu hubungan antar bahasa yang secara logika berbeda dari kesamaan bahasa, yang seharusnya untuk menjelaskan. Jika A adalah bahasa yang sama seperti B, dan B adalah bahasa yang sama seperti C, kemudian A dan C semestinya bahasa yang sama, dan seterusnya. ' Kesamaan bahasa' adalah suatu hubungan katakerja transitif, tetapi ' kejelasan timbal balik' adalah  intransitif: jika A dan B satu sama lain dapat dimengerti, dan B dan C satu sama lain dapat dimengerti. Masalahnya adalah bahwa suatu hubungan intransitif tidak bisa digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan katakerja transitif.
4.   Kejelasan timbal balik tidaklah berhubungan antar variasi, tetapi antara orang-orang, karena mereka, dan bukan variasi, yang saling memahami satu sama lain. Maka, derajat dari kejelasan timbal balik tergantung tidak hanya pada jumlah tumpang-tindih antara materi-materi didalam dua variasi, tetapi pada kualitas orang-orang terkait. Satu kualitas yang sangat relevan adalah motivasi: berapa banyak orang A mau memahami orang B? Ini tergantung pada banyak faktor seperti berapa banyak A suka B, berapa banyak ia mengharapkan untuk menekankan persamaan atau perbedaan antar mereka, dan seterusnya. Motivasi adalah penting sebab pemahaman orang lain selalu memerlukan usaha pada pihak pendengar ketika bersaksi kemungkinan 'mematikan' saat motivasi seseorang adalah rendah. Semakin besar perbedaan antara variasi, semakin besar usaha yang diperlukan, maka jika A tidak bisa memahami B, ini  menunjukkan bahwa tugas tersebut adalah terlalu besar bagi motivasi A, dan kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi jika motivasinya tadi lebih besar.
        Kualitas relevan yang lain memberikan masalah lain mengenai penggunaan kejelasan timbal balik sebagai ukuran, yakni bahwa hal ini tidak perlu timbal balik, karena A dan B harus mempunyai derajat motivasi yang sama untuk pemahaman satu sama lain, maupun kebutuhan yang mereka punyai sama jumlahnya dari pengalaman sebelumnya untuk tiap variasi lain. Secara khas, lebih mudah bagi seorang pembicara  non-baku untuk memahami seorang pembicara baku dibanding putaran cara lain, sebagian sebab tadinya akan pasti mempunyai pengalaman lebih dari variasi yang baku (khususnya melalui media) dibanding sebaliknya, dan sebagian sebab ia mungkin termotivasi untuk memperkecil perbedaan budaya antar dirinya dan pembicara yang baku (meskipun hal ini adalah sama sekali tidak perlu juga), sedang pembicara yang baku mungkin ingin menekankan perbedaan ini.
Kesimpulannya, kejelasan timbal balik tidak bekerja sebagai suatu ukuran untuk membatasi bahasa dalam ukuran arti. Tidak ada ukuran lain yang mana perlu dipertimbangkan sebagai suatu alternatif, maka kita harus menyimpulkan Matthews dalam Hudson (1983: 37) bahwa tidak ada pembedaan riil untuk ditarik antar ' bahasa' dan ' dialek' (kecuali berkenaan dengan gengsi, di mana hal ini akan lebih baik untuk menggunakan istilah 'bahasa baku' atau cuma 'baku', dibanding hanya 'bahasa'). Dengan kata lain, konsep 'bahasa X' tidak punya bagian untuk bermain dalam sociolinguistics, untuk persisnya pertimbangan yang sama, dapatkah hal ini mempunyai tempat di dalam ilmu bahasa. Semua yang kita butuhkan adalah dugaan 'variasi X', dan pengamatan yang tak dapat dibandingkan bahwa variasi yang ditentukan mungkin secara relatif serupa pada beberapa  variasi lain  dan secara relatif berbeda dari lainnya (Hudson, 1983: 34-37).


1 komentar: