Senin, 25 Oktober 2010

PUASA RAMADHAN


PUASA RAMADHAN
A. Kewajiban berpuasa dalam Al Qur’an
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa" [Al Baqarah:183]

B. Keutamaan berpuasa:
"Diriwayatkan dari Sahl bin Saad r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya di dalam Surga itu terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada Hari Kiamat kelak. Tidak boleh masuk seorangpun kecuali mereka. Kelak akan ada pengumuman: Di manakah orang yang berpuasa? Mereka lalu berduyun-duyun masuk melalui pintu tersebut. Setelah orang yang terakhir dari mereka telah masuk, pintu tadi ditutup kembali. Tiada lagi orang lain yang akan memasukinya" [Bukhari-Muslim]

"Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Setiap hamba yang berpuasa di jalan Allah, Allah akan menjauhkannya dari api Neraka sejauh perjalanan tujuh puluh tahun" [Bukhari-Muslim]
Keutamaan bulan Ramadan

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila tiba bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu neraka dan setan-setan dibelenggu Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim: 1793
 
C. Wajib berpuasa Ramadan jika melihat hilal awal Ramadan dan berhenti puasa jika melihat hilal awal Syawal. Jika tertutup awan, maka hitunglah 30 hari
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Dari Nabi saw. bahwa beliau menyebut-nyebut tentang bulan Ramadan sambil mengangkat kedua tangannya dan bersabda: Janganlah engkau memulai puasa sebelum engkau melihat hilal awal bulan Ramadan dan janganlah berhenti puasa sebelum engkau melihat hilal awal bulan Syawal. Apabila tertutup awan, maka hitunglah (30 hari)

D. Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim: 1795
Larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum bulan
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Janganlah engkau berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadan, kecuali bagi seorang yang biasa berpuasa, maka baginya silakan berpuasa

E. Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim: 1812
Dilarang puasa pada hari raya:
"Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak boleh berpuasa pada dua hari tertentu, iaitu Hari Raya Korban (Aidiladha) dan hari berbuka dari bulan Ramadan (Aidilfitri)" [Bukhari-Muslim]

F. Bersahur (makan sebelum Subuh) itu sunnah Nabi:
"Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Hendaklah kamu bersahur karena dalam bersahur itu ada keberkatannya" [Bukhari-Muslim]

G. Berbuka di waktu maghrib:
"Diriwayatkan daripada Umar r.a katanya: Rasulullah s.a.w telah bersabda: Apabila datang malam, berlalulah siang dan tenggelamlah matahari. Orang yang berpuasa pun bolehlah berbuka" [Bukhari-Muslim]
 
H. Ketika kita berpuasa, kita dilarang berkata kotor, mencaci, atau berkelahi. Hal ini untuk menempa diri kita agar memiliki akhlak yang terpuji:
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila seseorang daripada kamu sedang berpuasa pada suatu hari, janganlah berbicara tentang perkara yang keji dan kotor. Apabila dia dicaci maki atau diajak berkelahi oleh seseorang, hendaklah dia berkata: Sesungguhnya hari ini aku berpuasa, sesungguhnya hari ini aku berpuasa" [Bukhari-Muslim]
 
I. Puasa yang sia-sia:
"Dari Abu Hurairah ra: katanya Rasulullah saw berabda: "Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat jahat (padahal dia puasa), maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minum" [Bukhari].

J. Dilarang bersetubuh pada saat berpuasa:
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a katanya: Seorang lelaki datang menemui Rasulullah s.a.w lalu berkata: Celakalah aku wahai Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w bertanya: Apakah yang telah membuatmu celaka? Lelaki itu menjawab: Aku telah bersetubuh dengan isteriku pada siang hari di bulan Ramadan. Rasulullah s.a.w bertanya: Mampukah kamu memerdekakan seorang hamba? Lelaki itu menjawab: Tidak. Rasulullah s.a.w bertanya: Mampukah kamu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Lelaki itu menjawab: Tidak. Rasulullah s.a.w bertanya lagi: Mampukah kamu memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin? Lelaki itu menjawab: Tidak. Kemudian duduk. Rasulullah s.a.w kemudiannya memberikan kepadanya suatu bekas yang berisi kurma lalu bersabda: Sedekahkanlah ini. Lelaki tadi berkata: Tentunya kepada orang yang paling miskin di antara kami. Tiada lagi di kalangan kami di Madinah ini yang lebih memerlukan dari keluarga kami. Mendengar ucapan lelaki itu Rasulullah s.a.w tersenyum sehingga kelihatan sebahagian giginya. Kemudian baginda bersabda: Pulanglah dan berilah kepada keluargamu sendiri" [Bukhari-Muslim]

K. Bangun dari junub tidak membatalkan puasa:
"Diriwayatkan daripada Aisyah dan Ummu Salamah r.a, kedua-duanya berkata:: Nabi s.a.w bangkit dari tidur dalam keadaan berjunub bukan dari mimpi kemudian meneruskan puasa" [Bukhari-Muslim].

Jumat, 22 Oktober 2010

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 241


Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 241


وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (٢٤١)

241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.





Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 2, 2/al-Baqarah) dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âninya:

“dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari Ibnu Zaid. Ibnu Zaid berkata: “ketika turunnya ayat(al-Baqarah(2), ayat: 236):

……………. وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (٢٣٦)

236. ……………………dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

“Berkatalah seorang lelaki: “jika keadaan saya baik saya lakukan, jika saya tidak berkehendak (maka) tidak akan saya lakukan”. maka Allah menurunkan ayat:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (٢٤١)

241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.



KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan berkualitas Hasan”.








BIBLIOGRAFI

Jâmi’ul Bayâni Fit Ta’wîlil Qur’âni(Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).

Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).




Kamis, 21 Oktober 2010

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 240


Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 240

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٤٠)

240. dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) memberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.




Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Juz. 2, 2/al-Baqarah) dengan menisbahkan kepada Ishaq bin Rahawaih di dalam Tafsîrnya yang bersumber dari Muqâtil bin Hibbân:

“dari Muqâtil bin Hibbân, bahwa ada seorang lelaki penduduk Tha’if beserta beberapa laki-laki dan perempuan, kedua orang tuanya dan istrinya datang ke Madinah, lalu ia(lelaki penduduk Tha’if) itu meninggal di sana. Hal(meninggalnya lelaki penduduk Tha’if) itu disampaikan kepada Nabi SAW, lalu beliau(Nabi) membagi-bagikan harta bendanya(lelaki penduduk Tha’if) kepada kedua orang tua dan anak-anaknya(lelaki penduduk Tha’if) secara ma’ruf, sedang istrinya(lelaki penduduk Tha’if) itu tidak diberi bagian, tetapi mereka(orang tua dan anak-anak lelaki penduduk Tha’if yang meninggal itu) yang mendapatkan bagian harta bendanya(lelaki penduduk Tha’if) diperintahkan untuk memberi bagian kepada istri tersebut dari harta peninggalan suaminya(lelaki penduduk Tha’if) itu selama satu tahun. Berkenaan dengan kejadian itu, maka turunlah ayat:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٤٠)
240. dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) memberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.




KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan berkualitas Hasan”.







BIBLIOGRAFI


Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).
Tafsîr Ishâq bin Rahawaih(Ishâq bin Rahawaih).



Senin, 18 Oktober 2010

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 230


Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah(2), ayat: 230

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٢٣٠)

230. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin(bersetubuh) dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya bagi kaum yang (mau) mengetahui.



Imâm Jalâludin ash-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Bab I, Surat ke-2: al-Baqarah) dengan menisbahkan kepada Ibnu Mundzir yang bersumber dari Muqâtil bin Hibbân:
“Dikemukakan oleh Ibnu Mundzîr yang bersumber dari Muqâtil bin Hibbân. Muqâtil bin Hibbân berkata: “ayat ini turun mengenai ‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek yang pada awal mulanya adalah istri Rifa’ah bin Wahab bin ‘Atiek, dia anak paman ‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek sendiri. Lalu terjadilah perceraian tiga kali(thalâq ba’in). sesudah itu ‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek dinikahi oleh ‘Abdurrahmân bin az-Zubair al-Qura’zhi. Kemudian ‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek dicerai oleh ‘Abdurrahmân bin az-Zubair al-Qura’zhi dan hendak dikembalikan lagi kepada Rifa’ah bin Wahab bin ‘Atiek, maka ‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek mengadu kepada Nabi SAW, katanya(‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek): “ ‘Abdurrahmân bin az-Zubair al-Qura’zhi telah mencerai saya sebelum menyetubuhiku(Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek), bolehkah saya kembali kepada suami saya yang pertama(Rifa’ah bin Wahab bin ‘Atiek) ?”  , Nabi SAW menjawab: “tidak, kecuali kamu(‘Aisyah binti Abdirrohmân bin ‘Atiek) sudah disetubuhi oleh suamimu yang kedua”. Lalu turunlah ayat:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٢٣٠)

230. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin(bersetubuh) dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan-Nya bagi kaum yang (mau) mengetahui.

Imâm Jalâludin ash-Suyûthî menambahkan: “ayat tersebut membenarkan seorang suami yang mencerai istrinya tiga kali(thalâq ba’in), kemudian mengawini istrinya kembali setelah disetubuhi oleh suami istrinya yang kedua”.


KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâludin ash-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan berkualitas Hasan”.






BIBLIOGRAFI

Tafsîr Ibnu Mundzîr(Ibnu Mundzîr).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli(as-Suyûthî/Imâm Jalâludin ash-Suyûthî).

Jumat, 15 Oktober 2010

INTRODUCTION ABOUT ISLAM AND NATION


INTRODUCTION ABOUT ISLAM AND NATION

1.      Secara garis besar Islam adalah: “agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan agama yang dijadikan sebagai syari’at(tuntunan) dan manhaj(pedoman hidup) bagi seluruh umat manusia.
2.      Al-Qur’an adalah: “kitab dan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril, yang diturunkan secara mutawatir(bertahap-tahap), dan bernilai ibadah apabila membacanya(al-Qur’an)”.
3.      Sejarah masyarakat pada masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam: “pada masa Jahiliyah (sebelum datangnya Islam) para wanita banyak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, bahkan para wanita dianggap dan dijadikan sebagai suatu alat barter/sesuatu yang dapat diperjualbelikan. dan pada masa itu juga, Suku, Ras menjadi suatu perhatian yang besar, orang-orang pada saat itu sangat membanggakan Suku dan Rasnya, sehingga pada masa itu orang-orang hidup bersuku-suku, hidup sesama Rasnya, dengan kata lain hidup sendiri-sendiri dan tidak bersatu-padu. Dan pada masa itu juga, patung dan berhala dijadikan sebagai suatu sembahan/sesutu yang disembah, padahal patung dan berhala yang ia sembah tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot apapun kepada penyembahnya”. dll. 
4.      Secara garis besar fungsi Islam dan al-Qur’an yaitu:
a)Sebagai petunjuk, penuntun, penjelas, pelaksana dan pedoman hidup dalam beragama Islam dan bagi seluruh umat manusia.
b)      Membenarkan keRasulan Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul beserta kitab-kitab yang diwahyukan kepadanya.
c)Untuk membedakan antara yang haq(sesuatu yang benar) dan yang bathil(sesuatu yang salah), dan membedakan mana yang benar-benar syari’at(tuntunan) Allah, Nabi-NabiNya dan RasulNya, dan mana yang merupakan produk budaya manusia(tradisi dan adat istiadat).
d)      Sebagai Rahmat bagi seluruh alam dan (umat) manusia.

5.      Secara garis besar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Islam dan al-Qur’an sebagai berikut.
Islam dan al-Qur’an mengenalkan kita tentang: “pemerintah, musyawarah, interaksi
sosial, pernikahan, gotong-royong, tolong menolong dalam kebaikan, peduli sosial, kerukunan hidup dan bersatu-padu”.

Penjelasan secara garis besar:
a)      Pemerintah.
Islam dan al-Qur’an menempatkan “Pemerintah” pada kedudukan ketiga setelah “taat kepada Allah, taat kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul”.
b)      Musyawarah.
Islam dan al-Qur’an menuntunkan “Musyawarah” dikarenakan “musyawarah memiliki fungsi dan nilai asas kebersamaan, bukan asas individu”.
c)      Interaksi Sosial.
Islam dan al-Qur’an memberikan batasan-batasan dalam interaksi dengan lawan jenis, maksudnya: “seorang lelaki yang berinteraksi dengan seorang perempuan itu ada batasannya, dengan kata lain: interaksi antara lelaki dan perempuan bukan interaksi yang bebas/pergaulan yang bebas, akan tetapi interaksi yang tetap dan sesuai dengan koridor/tuntunan Islam dan al-Qur’an”.
d)      Pernikahan.
Secara garis besar Islam dan al-Qur’an menuntunkan “Pernikahan” dengan tujuan:
-   Terbentuk dan terjalinnya kehidupan dan keluarga yang sakinah(tenang, aman dan tentram), mawaddah(saling mencintai) dan rahmah(penuh kasih sayang).
-   Agar terus-menerus terjadinya regenerasi dan kaderisasi muslim, dll.
e)      Gotong-royong dan tolong menolong dalam kebaikan.
Islam dan al-Qur’an sangat menekankan dan menuntunkan kita untuk “bergotong-royong dan saling tolong menolong dalam kebaikan”, dengan kata lain: “manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang lain”.
f)        Peduli Sosial.
Islam dan al-Qur’an menuntunkan kita untuk “peduli sosial”, dikarenakan manusia adalah kelompok sosial, bukan individu. Sehingga antara individu yang satu harus simpati, empati dengan individu yang lain. 
g)      Kerukunan Hidup.
“Kerukunan hidup” sangat dituntunkan oleh Islam dan al-Qur’an. Karena Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian, penuh kasih-sayang dan selalu memberikan keamanan dan ketentraman.
h)      Bersatu-padu.
Islam dan al-Qur’an sangat menuntunkan “kesatuan dan persatuan”. Karena suatu Negara/Bangsa yang mengidamkan dan mendambakan: “kedamaian, kasih-sayang, keamanan dan ketentraman” hanya akan tercapai dan terwujud apabila semua elemen masyarakat dapat bersatu-padu untuk mewujudkannya”.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Kiat Sukses Ramadhan(Khutbah)

Kiat Sukses Ramadhan


1.    Menghayati Hikmah dan Manfaat Puasa bagi Kita.
- Mendidik ketakwaan dalam diri kita.
- Menggugurkan dosa-dosa kita yang terdahulu,
- Menjadikan kemuliaan tersendiri bagi yang menjalaninya saat hari kiamat nanti. Jangankan amal ibadahnya, bahkan bau mulut orang yang berpuasa pun menjadi tanda kemuliaan tersendiri di akhirat nanti. Subhanallah,

Rasulullah SAW bersabda :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa, lebih wangi di sisi Allah SWT dari aroma kesturi “ (HR Bukhori).


dengan memahami hikmah puasa yang begitu besar dan mulia bagi diri kita, maka insya Allah membuat kita lebih semangat dalam menjalani hari-hari Ramadhan kita.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT ….



2.    Mengetahui Fiqh dan Aturan-aturan dalam Ibadah Puasa. 
“dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda :“seorang faqih (ahli ilmu agama) lebih ditakuti syetan dari pada seribu ahli ibadah (tanpa ilmu) “. (HR Ibnu Majah)”.

     Hadits diatas menegaskan kepada kita tentang urgensinya beribadah dengan ilmu. Bahkan salah satu syarat diterimanya ibadah adalah ittiba atau sesaui aturan dan sunnah Rasulullah SAW.  Dalam kaitannya dengan puasa, sungguh ibadah ini mempunyai kekhususan dalam aturan fiqhnya yang berbeda dengan lainnya. Para ulama pun menjadikan bab puasa sebagai pembahasan khusus dalam kitab fiqhnya. Kita perlu mengkaji ulang, bertanya dan mempelajari apa-apa yang belum sepenuhnya kita yakini atau kita ketahui. Agar kita mampu menjalani ibadah ini dengan baik tanpa keraguan sedikitpun. Hal yang penting kita ketahui utamanya tentang apa-apa yang dibolehkan, apa-apa yang membatalkan, siapa saja yang boleh berbuka dan apa konsekuensinya. Mari kita sempatkan dalam hari-hari  ini untuk kembali mengkaji fiqh seputar puasa. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah ilmu ibadah yang mulia.



3.    Menjaga Puasa kita agar Tetap Utuh Pahalanya.
yang dimaksud menjaga puasa kita adalah upaya untuk menjadikan pahala puasa kita utuh. Dua cara yang harus kita lakukan dalam kaitannya dengan hal ini, yaitu menjalani sunnah-sunnah puasa, serta menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi pahala dan hikmah puasa. Adapun sunnah-sunnah puasa, antara lain adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Sunnah yang sederhana ini adalah bagian dari kemudahan dan keindahan syariat Islam. Kita diminta mengakhirkan sahur, sebagai persiapan untuk menjalani puasa seharian. Begitu pula kita diminta menyegerakan berbuka, sebagai kebutuhan fitrah manusia yang harus diperhatikan. Sunnah puasa lainnya adalah dengan berdoa sebelum dan saat berbuka, serta berbuka dengan seteguk air. Semoga sunnah yang sederhana ini bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan pahala puasa kita.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT ….

     Menjaga puasa juga dengan menjauhi segala sikap dan tindakan yang akan mengurangi keberkahan puasa kita, seperti : marah tiada guna, emosional, berdusta dalam perkataan, ghibah, maupun kemaksiatan secara umum. Hal-hal semacam di atas, selain dilarang secara umum bagi seorang muslim, juga akan mempengaruhi kualitas puasanya di hadapan Allah SWT. Jauh-jauh hari Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita :

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
“Betapa Banyak Orang berpuasa tapi tidak mendapat (pahala) apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar, dan betapa banyak orang yang sholat malam (tarawih) tapi tidak mendapatkan apa-apa selain begadang saja”. (HR an-Nasa’i).


Mari kita mengambil pelajaran dari hadits di atas, untuk kemudian meniti hari-hari ramadhan kita dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan. Siapapun kita tidak akan pernah rela jika hanya mendapat lapar dahaga saja di bulan mulia ini.



4.    Menghias Puasa kita dengan Ragam Amal yang disyariatkan dalam Ramadhan.
Sesungguhnya ibadah dalam bulan Ramadhan bukan hanya puasa saja. Tetapi banyak ragam ibadah yang juga disyariatkan dalam bulan penuh berkah ini. Mari kita menghias Ramadhan dengan ibadah-ibadah mulia tersebut, agar ramadhan sebagai madrasah ketakwaan benar-benar hadir dalam hidup kita. Rasulullah SAW telah memberikan contoh pada kita bagaimana beliau menghias hati-hati Ramadhannya dengan : Tadarus Tilawah, memperbanyak sedekah, sholat tarawih, memberi hidangan berbuka, bahkan juga I’tikaf di masjid pada sepuluh hari yang terakhir. Jika kita ingin merasakan Ramadhan yang berbeda dan begitu bermakna, tentu menjadi penting bagi kita untuk menghias Ramadhan kita dengan amal ibadah tersebut. Keberkahan Ramadhan akan begitu terasa paripurna dalam hati kita. Amin Allahumma Amiin …

Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT ….



5.    Mempertahankan atau Menjaga Semua Amal dengan Istiqomah hingga Akhir Ramadhan.
Bulan ramdhan dipenuhi banyak amalan yang sungguh akan melelahkan sebagian besar orang. Karenanya kita sering menjadi saksi bagaimana kaum muslimin ‘berguguran’ dalam perlombaan Ramadhan ini sebelum mencapai garis finishnya. Sholat tarawih di masjid mulai menyusut sedikit demi sedikit seiring berlalunya hari-hari awal Ramadhan. Karenanya, merupakan hal yang tidak bisa dibantah adalah jika kesuksesan Ramadhan bergantung dari keistiqomahan kita menjalani semua kebaikan di dalamnya hingga akhir Ramadhan tiba. Syariat kita yang indah pun seolah memberikan motivasi di ujung ramadhan, agar kita bertambah semangat dalam beribadah, yaitu dengan menurunkan malam lailatul qadar yang mulia. Rasulullah SAW pun menjalankan I’tikaf untuk menutup bulan keberkahan ini. Beliau juga bersungguh-sungguh di penghujung Ramadhan. Ibunda Aisyah menceritakan kepada kita :

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi SAW ketika masuk sepuluh hari yang terakhir (Romadhon), menghidupkan malam, membangunkan istrinya, dan mengikat sarungnya”. (HR Bukhori dan Muslim).


Akhirnya, marilah kita berusaha menjalankan lima kunci sukses Ramadhan di atas, agar usaha kita mendapatkan keberkahan dan kesuksesan Ramadhan benar-benar terarah dengan baik dan optimal. Semoga Allah SWT memudahkan dan memberikan kekuatan kepada kita …
Allahumma sholli ala muhammad wa ‘ala aalihi wa ashabihi ajmain.



6.    Sambut Idhul Fitri Jangan hanya Sebatas Menyemarakkan,
Tetapi secara maknawi Idul Fitri itu mempunyai makna penting dari sekedar sebuah adat kebiasaan..!”. Namun pada kenyataannya jarang sekali diantara kita yang mengetahui apa arti sebenarnya dibalik Idul Fitri ini, dan apa saja hal terpenting atau hikmah yang kita ambil dari Idul Fitri ini. Karena makna integral dari Idul Fitri itu sendiri ada pada hari-hari dan bulan sebelumnya, yaitu pada bulan Ramadhan. Seperti kata pepatah: “Hasil itu hanya 1% dari 99% rangkaian proses dalam sebuah pencapaian”. Artinya tidaklah penting suatu hasil, yang paling penting adalah bagaimana kita menjalani proses untuk mencapai hasil tersebut.
Sesungguhnya siapa yang menjalani puasa dengan penuh kesungguhan atau kesabaran yang sebenarnya, maka dengan otomatis akan mencapai hakikat dari Idul Fitri itu sendiri. Rasulullah bersabda :

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya” (HR. Bukhari).

Sungguh, kita tidak ingin melewati hari Idul Fitri ini dengan penuh kehampaan akan makna, namun tentunya yang kita inginkan adalah hari raya yang penuh pelajaran dan hikmah. Namun hal tersebut tentunya tidak akan kita capai manakala kita hanya mementingkan baju baru atau pun opor ayam belaka.