Minggu, 24 Juli 2011

Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 161


Asbâbun Nuzûl Surat ali-‘Imran (3) ayat: 161
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.



Imâm Jalâludin as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran) dengan menisbahkan kepada Abû Dâwud dalam Sunan Abî Dâwudnya, serta menisbahkan kepada at-Tirmidzî dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya:
“Dikemukakan oleh Abû Dâwud dan at-Tirmidzî yang menurut mereka berdua  (Abû Dâwud dan at-Tirmidzî) hadis ini berkualitas hasan, yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Abbas. ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Turunnya ayat ini berkenaan dengan hilangnya sehelai permadani merah pada waktu perang Badar. Sebagian orang berkata: “Barangkali sudah diambil Rasulullah SAW!”. Maka Allah SWT. menurunkan ayat:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.

KETERANGAN:
Kata Abû Dâwud dan at-Tirmidzî: “Hadis di atas (yang dinukil oleh Imâm Jalâludin as-Suyûthî) berkualitas hasan”.
Akan tetapi kata al-Hâfizh dalam Takhrîj al-Kasysyâfnya: “Khushaif bin ‘Abdirrahman dinyatakan cacat oleh Ibnu ‘Adî”.
Dan kata Abu ‘Abdirrahman dalam Jâmi’ al-Bayâni fi at-Ta’wîl al-Qur’âni (Tafsîr Ibnu Jarîr: 4/155): “Khushaif dinyatakan lemah oleh sebagian besar ulama, dan dia goncang dalam hadis di atas. Kadang dia (Khushaif bin ‘Abdirrahman) meriwayatkan secara mursal (tanpa sanad seorang sahabat Nabi SAW), dan kadang menyambungnya. Suatu ketika dia (Khushaif bin ‘Abdirrahman) mengatakan hadis ini dari Miqsam, kadang dia (Khushaif bin ‘Abdirrahman) mengatakan dari ‘Ikrimah, atau dari yang lain”.



Hadis di atas dikuatkan kerâjihannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabranî dalam al-Mu’jam al Kabîrnya (12/134):
“Telah bercerita kepada kami (ath-Thabranî) ‘Abdan bin Ahmad, katanya (‘Abdan bin Ahmad): “Telah bercerita kepada kami (‘Abdan bin Ahmad) ‘Abdurrahman bin Khalid ar-Raqqî, katanya (‘Abdurrahman bin Khalid ar-Raqqî): “Mu’awiyah bin Hisyam telah bercerita kepada kami (‘Abdurrahman bin Khalid ar-Raqqî), katanya (Mu’awiyah bin Hisyam): “Sufyan telah bercerita kepada kami (Mu’awiyah bin Hisyam) dari Habib bin Abî Tsabit dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, katanya (‘Abdullah bin ‘Abbas): “Nabi Muhammad SAW. mengirim satu pasukan lalu dikembalikan benderanya, kemudian mengirim lagi lalu dikembalikan karena ada ghulul (harta rampasan perang yang belum dibagi-bagikan) berupa emas sebesar kepala pemintal. Lalu turunlah ayat:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.

KETERANGAN:
Kata al-Haitsamî dalam Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâidnya: “Para perawi hadis di atas tsiqqat (kredibel, adil, kuat daya hafal dan ingatnya)”.
Kata Imâm Jalâludin as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 4, 3/ali-‘Imran): “Sanad (jalur para perawi hadis) di atas merupakan tokoh-tokoh yang tsiqqat (kredibel, adil, kuat daya hafal dan ingatnya)”.
Akan tetapi kata asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î: “Perkaranya sebagaimana dikatakan keduanya (al-Haitsamî dan as-Suyuthî) dari sisi perawinya, akan tetapi Habib bin Abî Tsâbit adalah mudallis (seorang yang menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara periwayatan yang baik), tidak tegas menyatakan tahdîts (menyatakan haddatsanâ), meskipun dia (Habib bin Abî Tsâbit) memang mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Abbas”.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î melanjutkan: “Ali bin al-Madinî dalam (Jami' at-Tahshîl) menetapkan bahwa dia (Habib bin Abî Tsâbit) bertemu dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas”.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î melanjutkan: “Al-‘Ijlî dalam (Tahdzîb at-Tahdzîb) juga menetapkan bahwa dia (Habib bin Abî Tsâbit) mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, akan tetapi dia (Habib bin Abî Tsâbit) mudallis (seorang yang menyembunyikan cacat dalam isnad dan menampakkan cara periwayatan yang baik)”.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î melanjutkan: “Dalam (Ilzamat wa Tatabbu’: halaman 83) dia (Habib bin Abî Tsâbit) pernah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas melalui dua perantara yaitu: Muhammad bin ‘Alî bin ‘Abdullah bin ‘Abbas dan ayahnya (ayahnya Muhammad bin ‘Alî bin ‘Abdullah bin ‘Abbas), maka diketahuilah bahwa hadis yang ia (Habib bin Abî Tsâbit) riwayatkan sanadnya dha’îf (lemah)”.   




Kedua Hadis di atas juga dikuatkan kerâjihannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabranî dalam al-Mu’jam al Kabîrnya (11/101):
“Muhammad bin Ahmad bin Yazid an-Narsi al-Baghdadi telah bercerita kepada kami (ath-Thabranî), katanya (Muhammad bin Ahmad bin Yazid an-Narsi al-Baghdadi): “Abu ‘Amr Hafsh bin ‘Umar al-Muqri ad-Dauri telah bercerita kepada kami (Muhammad bin Ahmad bin Yazid an-Narsi al-Baghdadi), katanya (Abu ‘Amr Hafsh bin ‘Umar al-Muqri ad-Dauri): “Abu Muhammad al-Yazidi telah bercerita kepada kami (Abu ‘Amr Hafsh bin ‘Umar al-Muqri ad-Dauri), katanya (Abu Muhammad al-Yazidi): “Telah bercerita kepada saya (Abu Muhammad al-Yazidi) Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ dari Mujâhid dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa dia (‘Abdullah bin ‘Abbas) membaca ayat:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
“Bagaimana mungkin beliau (Nabi SAW.) berkhianat, padahal beliau (Nabi SAW.) berhak memerangi. Allah SWT. berfirman:
۞ وَ يَقْتُلُوْنَ اْلأَنْبِيَاءَ ۞
“Dan mereka membunuh para Nabi”.

“Akan tetapi orang-orang munafiq menuduh Nabi SAW. dalam suatu perkara, lalu Allah SWT. menurunkan:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
KETERANGAN:
Ath-Thabranî juga meriwayatkan sebagaimana hadis di atas dalam al-Mu’jam al-Ashgharnya (2/15). Al-Wâhidî juga mengeluarkan sebagaimana hadis di atas dalam Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidînya (halaman 84). Al-Khâthib al-Baghdadî juga mengeluarkan sebagaimana hadis di atas dalam Târîkh Baghdadnya (1/372).
Para perawi hadis di atas tsiqqat (kredibel, adil, kuat daya hafal dan ingatnya) kecuali guru ath-Thabranî. Sulit untuk menemukan biografi guru ath-Thabranî, dan biografi guru ath-Thabranî hanya terdapat dalam Târîkh Baghdad karya Khâtib al-Baghdadî.
Kata Khâtib al-Baghdadî dalam Târîkh Baghdadnya (1/372): “Dari gurunya ath-Thabranî ia (ath-Thabranî) meriwayatkan (hadis di atas)”. Khâtib al-Baghdadî juga tidak menyebutkan jarh (cacat) dan ta’dîl (adil) guru ath-Thabranî.




Al-Bazzâr juga menguatkan kerâjihan ketiga hadis di atas dalam Kasyf al-Atsar (3/43):
“Muhammad bin ‘Abdirrahim telah bercerita kepada kami (al-Bazzâr), katanya (Muhammad bin ‘Abdirrahim): “Telah bercerita kepada kami (Muhammad bin ‘Abdirrahim) ‘Abdul Wahhab bin ‘Atha’, katanya (‘Abdul Wahhab bin ‘Atha’): “Telah bercerita kepada kami (‘Abdul Wahhab bin ‘Atha’) Harun al-Qari’ dari az-Zubair bin al-Khurait dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullah bin ‘Abbas:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (١٦١)
161. Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
“Tidak pantas Nabi SAW. dicurigai oleh para sahabatnya”.         

KETERANGAN:
Dalam Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibnu Hajar al-Asqalanî diterangkan bahwa: “Harun adalah Ibnu Musa al-Azdi al-‘Ataki, kuniahnya Abu ‘Abdillah, ada yang mengatakan Abu Ishaq an-Nahwi al-Bashri al-A’war, seorang ahli qira’at yang dinyatakan tsiqqat (kredibel, adil, kuat daya hafal dan ingatnya) oleh Yahya ibn Ma’in dan ditsiqqatkan juga oleh para muhaddits yang lain”.



KESIMPULAN:
Keempat hadis (melalui jalur ‘Abdullah bin ‘Abbas) di atas saling menguatkan antara yang satu dengan yang lain, sehingga naiklah derajat hadis tersebut dan dapat dijadikan sebagai hujjah (landasan/pedoman/dalil).







BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfidz Abî ‘Îsâ
Muhammad bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Al-Mu’jam al-Ashghâr (ath-Thabranî /Sulaiman bin Ahmad ath-Thabranî).
Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabranî /Sulaiman bin Ahmad ath-Thabranî).
Asbâb an-Nuzûl li al-Wâhidî (al-Wâhidî).
Ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb al-Nuzûl (Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-
Wadi’î).
Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Imâm Abî ‘Abdullâh Muhammad bin Isma’îl al-
Bukhârî (Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-
Asqalanî).
Jami' at-Tahshîl (‘Ali ibn al-Madinî).
Jâmi’ al-Bayâni fi at-Ta’wîl al-Qur’âni (Ibnu Jarîr/Abu Ja’far ath-Thabarî
Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Kasyf al-Atsar (Al-Bazzâr/Ahmad bin ‘Amar Al-Bazzâr).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâludin as-Suyûthî).
Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid (al-Haitsamî).
Sunan Abî Dâwud (Abû Dâwud/al-Imâm al-Hâfidz al-Mushannif al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Tahdzîb at-Tahdzîb (Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî/Ahmad bin ‘Alî bin Hajar
al-Asqalanî).
Târîkh Baghdad (Al-Khâtib al-Baghdadî/Abu Bakar Ahmad bin ‘Alî bin Tsâbit
al-Khâtib al-Baghdadî).