Selasa, 29 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 58


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
58. Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran (pelajaran) yang sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.



Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Mardawaih dalam Tafsîr Ibn Mardawaihnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih dari jalur sanad al-Kilabi dari Abi Shâlih yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Ketika Rasûlullâh SAW. menaklukkan Makkah, beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah. Ketika (‘Usmân bin Thalhah) sudah datang menghadap beliau SAW; Rasûlullâh SAW. bersabda: “Mana kuncinya?”. Ketika kunci diserahkan oleh (‘Usmân bin Thalhah) kepada beliau SAW; berdirilah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs seraya berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; demi ayahku dan ibuku, berikan kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqâyah (pengairan)”. Lalu ‘Usmân bin Thalhah menarik tangannya kembali. Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai ‘Usmân bin Thalhah, berikan kunci itu kepadaku (Nabi SAW)!”. ‘Usmân bin Thalhah berkata: “Inilah amanat Allah SWT.”. Maka berdirilah Rasûlullâh SAW. dan membuka Ka’bah, kemudian keluar untuk melakukan thawwaf[1] di Baitullâh (Ka’bah). Maka turunlah Malaikat Jibrîl membawa perintah agar kunci tadi dikembalikan (kepada ‘Usmân bin Thalhah). Lalu beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada ‘Usmân bin Thalhah), kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’):
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
58. Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran (pelajaran) yang sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.
Atsar[2] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[3] yang dihukumi Marfu’[4]. Karena para Muhadditsîn[5] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).








Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Syu’bah bin al-Hajjâj dalam Tafsîr Syu’bah bin al-Hajjâjnya:
“Dikemukakan oleh Syu’bah bin al-Hajjâj dari ayahnya (al-Hajjâj) yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij). ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) berkata: “Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’) diturunkan mengenai ‘Usmân bin Thalhah. Rasûlullâh SAW. meminta kunci Ka’bah kepadanya (kepada ‘Usmân bin Thalhah), lalu beliau SAW. masuk Baitullâh (Ka’bah) pada waktu Fath al-Makkah[6]. Lalu beliau SAW. keluar dari Ka’bah sambil membaca Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’). Lantas beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah untuk menyerahkan kunci itu (kepada ‘Usmân bin Thalhah). ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Menurut ‘Umar bin al-Khaththâb bahwa Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’) diturunkan kepada Rasûlullâh SAW. di dalam Ka’bah, karena pada saat Rasûlullâh keluar dari Ka’bah, beliau SAW. membaca Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’). Dan dia (‘Umar bin al-Khaththâb) pun bersumpah: “Demi ayah dan ibuku, sebelum itu saya (‘Umar bin al-Khaththâb) tidak pernah mendengar Rasûlullâh SAW. membacanya (membaca Ayat: 58, Surat an-Nisâ’)”.
“Saya (Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî) berpendapat: “Menurut kenyataannya, bahwa Ayat (Ayat: 58, Surat an-Nisâ’) diturunkan di dalam Ka’bah”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
‘Atsar[7] ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) di atas adalah Hadis Maqthu’[8], akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal[9]. Karena para Muhadditsîn[10] telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[11] terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î[12] shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) merupakan seorang Tâbi’în[13] junior, tsiqqah[14] dan ia (Ibnu Juraij) tidak menyalahi para Huffâzh[15] yang amanah; Serta atsar (Ibnu Juraij) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian ahli ilmu dan para ulama lain. Sehingga Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abd al-‘Azîz bin Juraij (Ibnu Juraij) di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).


KESIMPULAN:
Kedua Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis pertama dengan Hadis kedua, sehingga kedua Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Mardawaih (Ibnu Mardawaih).
Tafsîr Syu’bah bin al-Hajjâj (Syu’bah/Syu’bah bin al-Hajjâj).















[1] Thawwaf adalah: Lari-lari kecil selama tujuh kali mengelilingi Ka’bah serta membaca talbiyah (labaikallâh humâ labaik, labaika lâ syarika labaik, innalhamda wa ni’matah laka wal mulk lâ syarikalah).
[2] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[6] Fath al-Makkah maknanya yaitu: Penaklukkan Mekah oleh kaum Muslim yang dipimpin oleh Nabi SAW.
[7] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Maqthu’ adalah: sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.
[9] Marfu’ Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya, yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.
[11] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.
[12] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik Tâbi’în senior maupun yunior.
[13] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.
[14] Tsiqqah adalah: seorang yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-dhâbith-annya.
[15] Huffazh merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.

Rabu, 23 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 51-52


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 51-52
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) percaya kepada Jibt dan Thâghût[1], dan mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) berkata kepada orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
52. Mereka[2] itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk (dilaknat) Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong baginya[3].




Ibnu Jarîr meriwayatkan dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya (4/318):
“Muhammad bin al-Mutsannâ telah bercerita kepada kami (Ibnu Jarîr), katanya (Muhammad bin al-Mutsannâ): “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada kami (Muhammad bin al-Mutsannâ) dari Dâwûd dari ‘Ikrimah dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, katanya (‘Abdullâh bin ‘Abbâs): “Ketika Ka’b bin al-Asyraf datang ke Mekah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya (kepada Ka’b bin al-Asyraf): “Engkau (Ka’b bin al-Asyraf) orang Madinah paling baik dan pemuka mereka[4]”. Dia (Ka’b bin al-Asyraf) berkata: “Iya”. Kata mereka (orang-orang Quraisy): “Tidakkah kamu lihat satu orang hina dan tercela ini (shunbur) memisah dari kaumnya, dia (Nabi SAW.) menyangka bahwa dia (Nabi SAW.) lebih baik dari kami (orang-orang Quraisy), padahal kami (orang-orang Quraisy) penolong jama’âh haji, penjaga Ka’bah dan pemberi minum jama’ah haji”. Katanya (Ka’b bin al-Asyraf): “Kalian (orang-orang Quraisy) lebih baik dari dia (Nabi SAW.)”. Dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Lalu turunlah (Surat al-Kautsar, Ayat: 3):
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu (Muhammad) dialah yang terputus[5].

“Dan turunlah (Surat an-Nisâ’, Ayat: 51-52):
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا (٥١)
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا (٥٢)
51. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb? mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) percaya kepada Jibt dan Thâghût, dan mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) berkata kepada orang-orang Kâfir (Musyrîk Makkah), bahwa mereka (orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb) itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.
52. Mereka itulah orang yang dikutuk (dilaknat) Allah. Barangsiapa yang dikutuk (dilaknat) Allah, niscaya sekali-kali kamu tidak akan memperoleh penolong baginya”.


KETERANGAN:
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/513) dengan redaksi sanad[6] sebagai berikut: “Kata beliau (Ibnu Katsîr): “Imâm Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Muhammad bin Abî ‘Adî telah bercerita kepada saya (Imâm Ahmad bin Hanbal), dan sanad selanjutnya sama persis dengan sanad Hadis di atas”.
Ibnu Hibbân juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbânnya (halaman: 428), dan kata Ibnu Hibbân: “Rawi-rawi Hadis yang ia riwayatkan adalah rawi Shahîh”. Akan tetapi dalam Takhrîj Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibnu Katsîr, dinyatakan bahwa: “Riwayat Ibnu Hibbân adalah Mursal”.
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Imâm Ahmad bin Hanbal dalam Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbalnya; Serta menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya.



PENJELASAN:
Atsar[7] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[8] yang dihukumi Marfu’[9]. Karena para Muhadditsîn[10] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).




BIBLIOGRAFI

Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Mawârid Zham-an Zawâid Ibn Hibbân (Ibnu Hibbân/Abû Hâtim Muhammad bin Hibbân bin
Ahmad at-Tamîmî al-Bustî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (Ibnu Katsîr/Abû al-Fidâ-u Ismâ’îlu bin ‘Amr bin Katsîr
al-Qurasyî ad-Dimasyqî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).












[1] Jibt dan Thâghût ialah: Setan dan apa saja yang disembah selain Allah SWT. Dan juga ada yang menafsirkan Jibt dan Thâghût dengan: Khurafat dan berhala.
[2] “Mereka” dalam ayat ini maksudnya ialah: Orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, kemudian mereka mengatakan kepada orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman”.
[3] “Baginya” dalam ayat ini maksudnya ialah: Bagi orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb, serta bagi orang-orang yang diberi sebagian dari al-Kitâb yang mengatakan kepada orang-orang Kâfir: “Bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman”.
[4] Pemuka mereka maksudnya yaitu: Pemuka atau pemimpin bagi penduduk/masyarakat Madinah.
[5] Maksudnya terputus di sini ialah: Terputus dari rahmat Allah. Dan ada juga yang menafsirkan “terputus” dengan: Terputus dari sejarah.
[6] Sanad adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan hadis.
[7] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[8] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[9] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[10] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Selasa, 22 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 49

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 49
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا (٤٩)
49. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap (mengira) dirinya bersih[1]?. Akan tetapi Allah-lah yang membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.



Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Dahulu orang-orang Yahûdi mementingkan anak-anak kecilnya mengerjakan shalat, dan mementingkan kurban anak-anaknya, serta mereka (orang-orang Yahûdi) menyangka bahwa dengan jalan demikian[2] mereka (orang-orang Yahûdi) tidak memiliki sedikitpun kesalahan, dan tidak memiliki sedikitpun dosa. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا (٤٩)
49. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap (mengira) dirinya bersih?. Akan tetapi Allah-lah yang membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

“Yang menerangkan teguran bagi orang yang menyangka dirinya terbebas dari kesalahan dan dosa dengan jalan seperti itu[3].

KETERANGAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.
Ibnu Jarîr juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâninya, yang bersumber dari ‘Ikrimah, Mujâhid, Abû Mâlik dan lain-lain; yang di-nukil (dikutip) oleh Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’).



PENJELASAN:
Atsar[4] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[5] yang dihukumi Marfu’[6]. Karena para Muhadditsîn[7] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Jâmi’ al-Bayâni fî at-Ta’wîl al-Qurâni (Ibnu Jarîr/Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).











[1] Yang dimaksud di sini ialah: Orang-orang Yahûdi dan Nasranî yang menganggap diri mereka bersih. Lihat Surat al-Baqarah, Ayat: 80 dan Ayat: 111, dan Surat al-Mâ-idah, Ayat: 18.
[2] Dengan jalan demikian, maksudnya: Melalui cara mementingkan anak-anak kecilnya mengerjakan shalat, dan mementingkan kurban anak-anaknya, orang-orang Yahûdi menganggap diri mereka bersih.
[3] Dengan jalan seperti itu, maksudnya: Melalui cara mementingkan anak-anak kecilnya mengerjakan shalat, dan mementingkan kurban anak-anaknya, orang-orang Yahûdi menganggap diri mereka bersih.
[4] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[5] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[6] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[7] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

Kamis, 17 November 2011

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 48

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 48
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik[1]) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.



Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya; Serta menisbahkan kepada ath-Thabranî dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim dan ath-Thabranî yang bersumber dari Abû Ayyûb al-Anshârî. Abû Ayyûb al-Anshârî berkata: “Ada seorang lelaki yang datang menghadap Nabi SAW. dan (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) berkata: “Sesungguhnya saya mempunyai keponakan yang tidak mau berhenti berbuat haram”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Agama apa yang ia anut (ikuti)?”. Ia (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) menjawab: “Dia (keponakanku yang tidak mau berhenti berbuat haram) mau shalat dan mengesakan Allah”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) meninggalkan agamanya, kalau dia (keponakanmu) tidak mau, perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) membeli agamanya”. Kemudian lelaki tadi melaksanakan apa yang diperintahkan Rasûlullâh SAW. Setelah disampaikan (perintah Nabi SAW. kepada keponakannya), keponakannya enggan dan menolak untuk melaksanakan sabda SAW. Lalu lelaki tadi datang dan menghadap kembali kepada Rasûlullâh SAW. seraya berkata: “Sudah saya sampaikan (kepada keponakanku) perintah engkau (Nabi SAW.), tetapi dia (keponakanku) masih menyayangi agamanya”. Maka turunlah Ayat (Ayat: 48, Surat an-Nisâ’):
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”.

KETERANGAN dan PENJELASAN:
Kata Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî: “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan”.
Atsar[2] Abû Ayyûb al-Anshârî di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[3] yang dihukumi Marfu’[4]. Karena para Muhadditsîn[5] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Abû Ayyûb al-Anshârî di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Abû Ayyûb al-Anshârî di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

Al-Mu’jam al-Kabîr (ath-Thabranî/Sulaimân bin Ahmad ath-Thabranî).
Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûli (as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).










[1] Syirik adalah: Mempersekutukan sesuatu dengan yang lain.
[2] Atsar adalah: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.
[3] Hadis Mawqûf yaitu: sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.
[4] Marfu’ maksudnya: terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.
[5] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.