Senin, 06 Februari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 123-124


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 123-124

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا (١٢٣)
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (١٢٤)
123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian[1] yang kosong[2] dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb[3]. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi balasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain Allah.
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman; maka mereka itu masuk ke dalam Surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.



Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Tidak akan masuk Surga selain kami (kaum Muslimîn)”. Orang-orang Quraisy berkata: “Sesungguhnya kami (orang-orang Quraisy) tidak akan dibangkitkan”. Maka Allah SWT. menurunkan Ayat ini (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………..”.

KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas hasan[4].

PENJELASAN:
Atsar[5] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[6] yang dihukumi Marfu’[7]. Karena para Muhadditsîn[8] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).






Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh. Mereka (Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh) berkata: “Para Ahli Agama (tokoh-tokoh agama) saling menyombongkan diri”. Dalam lafazh lain: “Segolongan orang-orang Yahûdî, Nashrânî dan Kaum Muslimîn sedang duduk. Masing-masing (masing-masing orang-orang Yahûdî, Nashrânî dan Kaum Muslimîn) berkata: “Kami lebih utama daripada kamu”. Maka turunlah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………….”.

KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas hasan[9].

PENJELASAN:
Atsar[10] Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfu’, maksudnya: hadis Mawqûf[11] yang dihukumi Marfu’[12]. Karena para Muhadditsîn[13] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfu’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfu’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis Qatâdah, adh-Dhahak, as-Suddî dan Abî Shâleh di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).







Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurânnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Jarîr yang bersumber dari Masrûq. Masrûq berkata: “Ketika Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 123):
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ................... (١٢٣)
123. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kalian yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitâb (yaitu: kaum Yahûdî dan Nashrânî)……………….”.

“(Masrûq melanjutkan ucapannya): “Diturunkan, berkatalah Ahli Kitâb (kaum Yahûdî dan Nashrânî): “Kami (kaum Yahûdî dan Nashrânî) dan kalian (kaum Muslimîn) adalah sama”. Maka turunlah Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 124):
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ ........................ (١٢٤)
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedangkan ia orang yang beriman……………………………”.

“(Masrûq melanjutkan ucapannya): “Yang menyangkal anggapan Ahli Kitâb (kaum Yahûdî dan Nashrânî), bahwa mereka (kaum Yahûdî dan Nashrânî) dan kaum Muslimîn adalah sama”.

KETERANGAN:
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia (as-Suyûthî) keluarkan di atas berkualitas hasan[14].

PENJELASAN:
‘Atsar Masrûq di atas adalah Hadis Maqthu’[15], akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal[16]. Karena para Muhadditsîn telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Masrûq di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.



KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[17]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ke-hujjah-an Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1.    Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya). Dengan alasan orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya) pula”.
2.    Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî, Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3.    Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian ahli ilmu: “Dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a)   Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)   Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-dhâbith-annya).
c)    Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)   Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat syarat berikut:
·      Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
·      Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama.
·      Sesuai dengan perkataan Sahabat.
·      Atau sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu”.[18]




KESIMPULAN:
Ketiga Hadis di atas saling menguatkan antara Hadis yang satu dengan Hadis yang lain, sehingga Hadis-hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).






BIBLIOGRAFI

Jâmi’ al-Bayân fî at-Ta-wîl al-Qurân (Ibnu Jarîr/ Abû Ja’far ath-Thabarî Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/ Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (Ibnu Abî Hâtim).












[1] Kata “KALIAN” di sini maknanya yaitu: Kaum Muslimîn.

[2] Angan-angan Kalian Yang Kosong, maksudnya: Pahala di Akhirat bukanlah menurut angan-angan dan cita-cita mereka (manusia), akan tetapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama (Allah).

[3] Ahli Kitab, mereka itu adalah: Kaum Yahûdî dan Kaum Nashrânî.

[4] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[5] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[6] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.

[7] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.

[8] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[9] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[10] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[11] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.

[12] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.

[13] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[14] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[15] Hadis Maqthu’ yaitu: Hadis yang disandarkan kepada para Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat) ataupun disandarkan kepada para generasi setelah Tâbi’în (seperti: Tâbi’ Tâbi’în, murid Tâbi’ Tâbi’în, dan seterusnya); baik berupa perkataan maupun perbuatan.

[16] Marfu’ Mursal adalah: Hadis Maqthu’ yang dihukumi oleh para Muhadditsîn menjadi Marfu’ Mursal, karena terdapat bukti bukti kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya.

[17] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat) secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa menyebutkan penghubung antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang Sahabat.

                 [18] Imâm asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar