Minggu, 19 Februari 2012

Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 148


Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 148

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (١٤٨)
148. Allah tidak menyukai ucapan (perkataan) buruk[1], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali orang-orang yang teraniaya[2]. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.


Al-Hâfizh[3] Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 6, 4/an-Nisâ’), dengan menisbahkan kepada Hannad bin as-Sirri dalam az-Zuhdnya:
“Dikemukakan oleh Hannad bin as-Sirri yang bersumber dari Mujâhid[4]. Mujâhid berkata: “Turunnya Ayat (Surat an-Nisâ’, Ayat: 148):
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (١٤٨)
148. Allah tidak menyukai ucapan (perkataan) buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali orang-orang yang teraniaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

“(Mujâhid melanjutkan perkataannya): “Mengenai seorang lelaki yang bertamu ke rumah seorang lelaki (penduduk) Madînah yang menerima perlakuan yang tidak baik, sampai ia (tamu yang dperlakukan tidak baik tersebut) pindah (pergi) dari rumah orang itu (dari rumah seorang lelaki penduduk Madînah tersebut). Tamu tersebut menceritakan apa yang diperlakukan (seorang lelaki penduduk Madînah) terhadap dirinya”.

KETERANGAN (dari para Muhadditsîn[5]):
Kata al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’): “Hadis yang ia keluarkan di atas berkualitas hasan[6].
Kata Yahyâ bin Ma’în: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah[7].
Kata Muhammad bin Sa’d: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata Abû Zar’ah ar-Râzî: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-‘Ijlî: “Mujâhid adalah seorang yang tsiqqah”.
Kata al-Hâfizh Ibnu Hibbân: “Mujâhid adalah seorang yang mutqan (terpercaya)”.
Mujâhid adalah PERAWI SHAHÎHAYN (Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim).



PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
‘Atsar[8] Mujâhid di atas adalah Hadis Maqthu’[9], akan tetapi Atsar di atas terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan ke-marfu’-annya, sehingga Atsar di atas dihukumi Marfu’ Mursal[10]. Karena para Muhadditsîn[11] telah bersepakat bahwa: “Perkataan Tâbi’în[12] terkadang dipandang sebagai perkataan Sahabat, apabila perkataan tersebut semata tidak diperoleh melalui ijtihad. Begitu juga sebaliknya, perkataan Sahabat yang dianggap bukan sebagai ijtihad, maka juga dipandang sebagai perkataan Nabi SAW. sendiri”. Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar Mujâhid di atas tergolong Marfu’ Mursal oleh para Muhadditsîn.
Menurut pendapat Imâm Mâlik, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah dan ‘Ulama lain: “Hukum Hadis Mursal Tâbi’î[13] shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kan tsiqqah”. Sedangkan Mujâhid merupakan seorang Tâbi’în[14] pertengahan, tsiqqah[15] dan ia (Mujâhid) tidak menyalahi para Huffâzh[16] yang amanah; Serta atsar (Mujâhid) sesuai dengan persyaratan: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian Ahli Ilmu dan para ‘Ulama lain. Sehingga Atsar Mujâhid di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



KE-HUJJAH-AN HADIS MURSAL TÂBI’Î[17]:
Secara umum terjadi perbedaan pendapat di kalangan ‘Ulama tentang ke-hujjah-an Mursal Tâbi’î, yaitu ada tiga pendapat:
1.    Menurut Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanîfah, Imâm Ahmad bin Hanbal, dan ‘Ulama-ulama lain: “Hukumnya shahîh dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), jika yang me-mursal-kannya tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya). Dengan alasan, orang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya) tidak mungkin me-mursal-kan hadis kecuali dari orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya) pula”.
2.    Menurut Imâm Muslim, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalanî, Ibnu Abî Hâtim, Imâm an-Nawawî, al-Hâkim dan Ibnu ash-Shalâh: “Hukumnya Dha’îf (lemah) dan tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), dengan alasan sifat-sifat perawi yang digugurkan tidak diketahui secara jelas”.
3.    Menurut Imâm asy-Syâfi’î dan sebagian Ahli Ilmu: “Dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dengan empat syarat, tiga syarat berkaitan dengan periwayat yang me-mursal-kan hadis dan satu syarat berkaitan dengan hadisnya, yaitu sebagai berikut:
a)   Perawi yang me-mursal-kan hadis seorang Tâbi’în senior (kibar at-Tâbi’în).
b)   Perawi hadis adalah orang yang tsiqqah (orang yang kredibel ke-‘âdil-an dan ke-zhâbith-annya).
c)    Tidak menyalahi para Huffâzh yang amanah.
d)   Syarat-syarat di atas ditambah salah satu dari empat syarat berikut:
·      Hadisnya diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
·      Ada periwayatan lain secara mursal juga oleh ahli ilmu yang bukan pe-mursal pertama.
·      Sesuai dengan perkataan Sahabat.
·      Atau sesuai dengan fatwa mayoritas ahli ilmu”.[18]


KESIMPULAN:
Hadis di atas dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam). Karena atsar Mujâhid di atas maqbûl (diterima) oleh Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Abû Hanîfah, sebagian Ahli Ilmu dan para ‘Ulama lain.


 
BIBLIOGRAFI

Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî).
Az-Zuhd (Hannad bin as-Sirri).









[1] Ucapan Buruk seperti: mencela orang lain, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, berbohong (berdusta) dan sebagainya.

[2] Maksudnya: Orang-orang yang sedang dianiaya (teraniaya) oleh orang lain, sehingga ia (orang yang teraniaya tersebut) terpaksa harus berbohong (berdusta) dan sebagainya.

[3] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.

[4] Nama lengkapnya yaitu: Mujâhid bin Jabar. Ia (Mujâhid) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Makhzûmî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Hajjâj. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Mujâhid) wafat di Marwa ar-Rawadz pada tahun 102 Hijriyah.

[5] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[6] Hadis Hasan ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdil (‘âdil yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), ke-dhâbith-annya tidak sempurna, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[7] Tsiqqah adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.

[8] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[9] Hadis Maqthu’ adalah: Sifat matan yang disandarkan kepada seorang Tâbi’în atau para generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan.

[10] Marfu’ Mursal yaitu: Periwayatan Tâbi’in atau para generasi setelahnya, yang dinaikkan derajat hadisnya hingga ke Sahabat.

[11] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[12] Tâbi’în adalah: Para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’îd bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, Qatadah, al-A’masy, dan sebagainya.

[13] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: periwayatan Tâbi’în secara mutlak dari Nabi SAW; baik Tâbi’în senior maupun yunior.

[14] Tâbi’în adalah: para generasi setelah Sahabat. Contoh para Tâbi’în: Sa’d bin al-Musayyab, ‘Ikrimah, Nâfi’, Mujâhid, az-Zuhrî, Hasan al-Bashrî, ‘Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin Sîrîn, dan sebagainya.

[15] Tsiqqah adalah: Seorang perawi hadis yang kredibel ke-‘âdilan dan ke-zhâbith-annya.

[16] Huffazh merupakan jamak dari al-Hâfizh. Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Zainuddin ‘Abdurrahîm al-‘Iraqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-Asqalanî, al-Mizzî, Abû Dâwûd, an-Nasâ-î, Ibnu Hibbân, adz-Dzahabî, al-Bayhaqî, al-Haitsamî, Ibnu ‘Adî, Ibnu ‘Abdul Bâr, Jalâluddîn as-Suyûthî, dan sebagainya.

[17] Hadis Mursal Tâbi’î adalah: Periwayatan Tâbi’în (para generasi setelah Sahabat) secara mutlak dari Nabi SAW; baik berupa perkataan, perbuatan ataupun persetujuan; baik Tâbi’în senior maupun yunior; tanpa menyebutkan penghubung antara Tâbi’în dengan Nabi SAW. yaitu: seorang Sahabat.

[18] Imâm asy-Syâfi’î. 1979. Ar-Risâlah. Kairo; Dâr at-Turâts, Cet. Ke-2, hlm.461.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar