Senin, 27 Februari 2012

Orang Yang Berhak Adzan Ketika Bepergian, Serta Orang Yang Berhak Menjadi Imâm Ketika Shalat Berjamâ’ah Di Daerah Orang Lain

Orang Yang Berhak Adzan Ketika Bepergian, Serta Orang Yang Berhak Menjadi Imâm Ketika Shalat Berjamâ’ah Di Daerah Orang Lain


Hadis Pertama (hadis ini adalah lafazh Shahîh Bukhârî):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَى رَجُلَانِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْتُمَا خَرَجْتُمَا فَأَذِّنَا ثُمَّ أَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا.
“Muhammad bin Yûnus telah bercerita kepada kami (kepada Muslim), dia (Muhammad bin Yûnus) berkata: “Sufyân telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Yûnus) dari Khâlid al-Hadzdzâ’, dari Abî Qilâbah, dari Mâlik bin al-Huwairis, dia (Mâlik bin al-Huwairis) berkata: “Ada dua orang datang menemui Nabi SAW. mereka berdua hendak bepergian (safar). Maka Nabi SAW. berkata (kepada kedua orang tersebut): “Apabila kamu berdua bepergian (musafir kemudian masuk waktu shalat), maka adzanlah (salah satu dari kalian), kemudian qamatlah (salah satu dari kalian), dan hendaklah orang yang lebih tua yang menjadi Imâm (shalat). {HR. Bukhârî No. Hadis: 594. Muslim No. Hadis: 1081. At-Tirmidzî No. Hadis: 189. An-Nasâ-î No. Hadis: 630 dan 773. Ibnu Mâjah No. Hadis: 969}.

PENJELASAN:
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî berkata dalam Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârînya: “Hadis di atas dalam konteks “SAFAR (bepergian)”, yang mana dalam hal ADZAN itu diserahkan kepada KEHENDAK (keinginan) MASING-MASING INDIVIDU yang mau adzan maupun iqamah. Lain halnya dengan orang yang berhak menjadi IMÂM SHALAT, maka diserahkan kepada ORANG YANG LEBIH TUA UMURNYA.





Hadis Kedua (hadis ini adalah lafazh Shahîh Muslim):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَوْسَ بْنَ ضَمْعَجٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا مَسْعُودٍ يَقُولُا قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ.
“Muhammad bin al-Mutsannâ dan Ibnu Basysyâr telah bercerita kepada kami (kepada Muslim), Ibnu al-Mutsannâ berkata: “Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu al-Mutsannâ) dari Syu’bah, dari Isma’îl bin Rajâ’, dia (Isma’îl bin Rajâ’) berkata: “Saya (Isma’îl bin Rajâ’) mendengar Uwas bin Dham’aj berkata: “Saya (Uwas bin Dham’aj) mendengar ‘Abdullâh bin Mas’ûd berkata: “Rasûlullâh SAW. berkata kepada kami (kepada para Sahabat): “Orang yang paling berhak menjadi Imâm (Shalat) yaitu yang paling menguasai (memahami) al-Qurân dan yang paling baik (unggul) bacaan al-Qurânnya. Jika dalam hal bacaan setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah) yang terlebih dulu hijrah. Jika dalam hal hijrah setara, maka (yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah) yang paling tua usianya. Dan jangalah kalian mengimami (shalat) suatu kaum yang bukan kaumnya dan juga bukan daerah tempat tinggalnya, serta janganlah mukim (menginap) di suatu rumah kecuali dengan izinya (maksudnya: kecuali mendapatkan izin ataupun dipersilahkan menjadi Imâm Shalat oleh penduduk setempat). {HR. Muslim No. Hadis: 1078 dan 1079. At-Tirmidzî No. Hadis: 218. An-Nasâ-î No. Hadis: 772 dan 775. Abû Dâwud No. Hadis: 494. Ibnu Mâjah No. Hadis: 970. Imâm Ahmad bin Hanbal No. Hadis: 16446, 16472 dan 21308}.

PENJELASAN:
Imâm an-Nawawî berkata dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawînya: Orang yang paling berhak menjadi Imâm Shalat adalah yang paling menguasai (memahami) al-Qurân, kemudian yang paling baik bacaan al-Qurânnya, kemudian yang paling dulu berhijrah, kemudian yang paling tua umurnya. Hadis di atas juga mengandung larangan bagi seseorang yang mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan kaum (warga) nya, juga melarang mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan di daerah tempat tinggalnya. Apabila dipersilahkan (dizinkan) oleh warga setempat, maka ia boleh menjadi Imâm Shalat mereka. Karena mendapatkan izin (untuk menjadi Imâm Shalat) di suatu kaum yang bukan kaumnya, dan juga bukan di daerah tempat tinggalnya itu lebih afdhal (lebih utama) daripada mengimami mereka tanpa keridhaan (kerelaan) dan tanpa izin mereka.



KESIMPULAN:
1.    Dalam hal ADZAN maupun IQAMAH itu diserahkan kepada masing-masing individu yang mau adzan dan iqamah.
2.    Namun, masalah Imâm Shalat itu disyari’atkan kepada orang yang paling menguasai (memahami) al-Qurân; kemudian yang paling baik bacaan al-Qurânnya; kemudian yang paling dahulu hijrah; kemudian yang paling tua umurnya.
3.    Apabila mengimami shalat suatu kaum (penduduk) yang bukan kaumnya, juga bukan di daerah tempatnya tinggalnya, apabila tidak mendapatkan izin dari warga (penduduk) setempat, maka janganlah mengimami mereka. Karena mendapatkan izin untuk menjadi Imâm Shalat itu lebih utama (afdhal) daripada mengimami mereka tanpa ridhâ (kerelaan) dan izin mereka.

 

BIBLIOGRAFI

Al-Jâmi’ ash-Shahîh li al-Bukhârî (Imâm Bukhârî/Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fî al-Bukhârî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh li Muslim (Imâm Muslim/al-Imâm Abû al-Husain Muslim bin al-Haĵâj
Ibnu Muslim al-Qusyairî an-Naisâbûrî).
Al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî (at-Tirmidzî/al-Imâm al-Hâfizh Abû ‘Îsâ Muhammad
bin ‘Îsâ bin Saurah at-Tirmidzî).
Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh Bukhârî (al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî).
Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal (Imâm Ahmad bin Hanbal/Ahmad bin Hanbal Abû
‘Abdullâh asy-Syaibânî).
Sunan Abî Dâwud (al-Hâfizh Abû Dâwud/al-Imâm al-Hâfizh al-Mushannif al-Mutqan Abî
Dâwud Sulaimân Ibnu al-‘Asy’ats as-Sijistânî al-Azadî).
Sunan ad-Dârimî (ad-Dârimî).
Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ (al-Hâfizh an-Nasâ-î/al-Hâfizh Abû ‘Abdurrahmân Ahmad bin
Syu’aib bin ‘Alî bin Bahr bin Sunân bin Dînâr an-Nasâ-î).
Sunan Ibn Mâjah (al-Hâfizh Ibnu Mâjah/al-Hâfizh Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Yazîd
al-Qazwînî Ibnu Mâjah).
Syarh Shahîh Muslim li Imâm an-Nawawî (Imâm an-Nawawî).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar