Kamis, 17 Mei 2012

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 118

Asbâbun Nuzûl Surat al-Baqarah (2), Ayat: 118
وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا اللهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِثْلَ قَوْلِهِمْ تَشَابَهَتْ قُلُوْبُهُمْ قَدْ بَيَّنَّا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ (١١٨)
118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui[1] berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami[2] atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami[3]?". Demikian pula orang-orang sebelum[4] mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka[5] serupa. Sesungguhnya kami (Allah) telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kami (Allah) kepada Kaum yang yakin.



Al-Hâfizh[6] Ibnu Katsîr[7] mengeluarkan dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîmnya (1/232), dengan menisbahkan kepada Muhammad bin Ishâq dalam Tafsîr Muhammad Ibn Ishâqnya:
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِيْ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ مُحَمَّدٍ, عَنْ عِكْرِمَةَ أَوْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ, قَالَ: قَالَ رَافِعُ بْنُ حُرَيْمَلَةَ لِرَسُوْلِ اللهِ: يَا مُحَمَّدٌ, إِنْ كُنْتَ رَسُوْلاً مِّنَ اللهِ كَمَا تَقُوْلُ, فَقُلِ اللهِ فَلْيُكَلِّمُنَا حَتَّى نَسْمَعُ كَلاَمَهُ. فَأَنْزَلَ اللهُ فِيْ ذَالِكَ مِنْ قَوْلِهِ: (وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ............).
“Muhammad bin Ishâq[8] berkata: “Muhammad bin Abî Muhammad[9] telah bercerita kepada kami (kepada Muhammad bin Ishâq), dari ‘Ikrimah[10], atau (dan) dari Sa’îd bin Jubair[11], dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs[12], dia (‘Abdullâh bin ‘Abbâs) berkata: “Râfi’ bin Huraymalah berkata kepada Rasûlullâh SAW: “Wahai (Nabi) Muhammad, jika anda seorang Rasûlullâh sebagaimana perkataanmu (sebagaimana perkataan Nabi SAW), maka katakanlah kepada Allah (agar) berbicara (secara langsung) kepada kami (kepada Râfi’ bin Huraymalah). Maka Allah SWT. menurunkan mengenai perkataannya (perkataan Râfi’ bin Huraymalah):
وَقَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ لَوْلاَ يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِيْنَا آيَةٌ ......... (١١٨)
118. Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" .............”.

KETERANGAN (dari para Muhadditsîn[13]):
Hadis di atas berkualitas shahîh[14], karena semua rawinya tsiqqât[15].
Al-Hâfizh[16] Ibnu Abî Hâtim[17] juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (1/215 atau No. Hadis: 1140), melalui jalur sanad[18] Salamah bin al-Fadhal.
Ibnu Hisyâm juga meriwayatkan sebagaimana Hadis di atas dalam as-Sîrah an-Nabawiŷah li Ibn Hisyâmnya (1/549).
Imâm Ibnu Jarîr[19] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman: 474)[20], melalui jalur sanad Abû Kuraib.
Al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthî[21] juga mengeluarkan sebagaimana Hadis di atas dalam Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûlnya (Juz. 1, 2/al-Baqarah), dengan menisbahkan kepada al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya (1/215 atau No. Hadis: 1140); serta menisbahkan kepada Imâm Ibnu Jarîr dalam Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurânnya (Juz. 2, halaman: 474)[22].



PENJELASAN (kedudukan hadis di atas):
Atsar[23] ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas digolongkan Mawqûf li hukmi Marfû’, maksudnya: hadis Mawqûf[24] yang dihukumi Marfû’[25]. Karena para Muhadditsîn[26] telah bersepakat bahwa: “Ada beberapa macam Mawqûf yang dihukumi Marfû’, dan salah satunya yaitu: penafsiran para Sahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) suatu Ayat”.
Sebagaimana penjelasan para Muhadditsîn tersebut, maka Atsar ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas tergolong hadis Mawqûf yang dihukumi Marfû’ oleh para Muhadditsîn, sehingga (hadis ‘Abdullâh bin ‘Abbâs di atas) dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman/landasan) dalam hukum Syara’ (Islam).



KESIMPULAN
Hadis di atas berkualitas shahîh[27], dan dikuatkan ke-râjih-annya dengan Hadis-hadis melalui jalur (sanad) lain sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas; sehingga kokoh dan kuatlah Hadis di atas, dan dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan) dalam Syara’ (Islam).





BIBLIOGRAFI

As-Sîrah an-Nabawiŷah li Ibn Hisyâm (Imâm Ibnu Hisyâm).
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân (Imâm Ibnu Jarîr/ al-Imâm al-‘Âlim Muhammad bin
Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib).
Lubâb an-Nuqûl fî Asbâb an-Nuzûl (al-Hâfizh as-Suyûthî/ al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân
bin Abî Bakr).
Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm (al-Hâfizh Ibnu Katsîr/ Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr).
Tafsîr Ibn Abî Hâtim (al-Hâfizh Ibnu Abî Hâtim/ al-Imâm al-Hâfizh ‘Abdurrahmân bin Abî
Hâtim).
Tafsîr Ibn Ishâq (Ibnu Ishâq/ Muhammad bin Ishâq bin Yasâr).
































[1] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 473-475 dan 477): Mujâhid dan Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Nashrani”. Sedangkan Qatâdah dan ar-Rabî’ menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Kâfir ‘Arab”. As-Sudŷ dan az-Zâ’im menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang ‘Arab”. Para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Yahûdi pada masa Rasûlullâh SAW”. Juga ada sebagian Mufassirîn yang menafsirkan kata “ORANG-ORANG YANG TIDAK MENGETAHUI” dengan: “Orang-orang Musyrîk kaum ‘Arab”.

[2] Ibid.

[3] Imâm Ibnu Jarîr, loc. cit.

[4] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 476-478): Mujâhid dan Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Yahûdi”. Sedangkan Qatâdah, as-Sudŷ, ar-Rabî’ dan para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Yahûdi, Nashrani dan yang lainnya”. Imâm Ibnu Jarîr menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang ‘Arab”. Para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Yahûdi pada masa Rasûlullâh SAW”. Juga ada sebagian Mufassirîn yang menafsirkan kata “ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA” dengan: “Orang-orang Musyrîk kaum ‘Arab”.

[5] Di dalam “Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân, Tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî”, karya Imâm Ibnu Jarîr (Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 478): Mujâhid menafsirkan kata “HATI MEREKA” dengan: “Hati orang-orang Yahûdi dan Nashrani”. Sedangkan Qatâdah dan ar-Rabî’ menafsirkan kata “HATI MEREKA” dengan: “Hati orang-orang ‘Arab, Yahûdi, Nashrani dan yang lainnya”. Para Mufassirîn yang lain menafsirkan kata “HATI MEREKA” dengan: “Hati orang-orang Kâfir ‘Arab, Yahûdi, Nashrani dan yang lainnya”.

[6] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în, ‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, dan sebagainya.

[7] Nama lengkapnya yaitu: Ismâ’îl bin ‘Amr bin Katsîr. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-Fidâ’. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn Katsîr. Ia (Ibnu Katsîr) adalah seorang tsiqqah mutqan al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh yang kokoh dan kuat). Ia (Ibnu Katsîr) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts (hadis) dan târîkh (sejarah). Ia (Ibnu Katsîr) lahir di Bashrah pada tahun 700 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Bashrah. Ia (Ibnu Katsîr) wafat di Bashrah pada tahun 774 Hijriyah, dan dikubur di Damsyiq (Damaskus).

[8] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Ishâq bin Yasâr. Ia (Ibnu Ishâq) merupakan seorang Tâbi’în junior. Ia (Ibnu Ishâq) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în, al-Hâfizh Ibnu Hibbân, dan al-‘Ijlî. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Mathlabî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Bakr. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (Ibnu Ishâq) wafat di Baghdâd pada tahun 150 Hijriyah.

[9] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Abî Muhammad Maulâ Zaid bin Tsâbit. Ia (Muhammad bin Abî Muhammad) merupakan seorang Tâbi’în dekat pertengahan. Ia (Muhammad bin Abî Muhammad) di-tsiqqah-kan (dikredibelkan ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya) oleh: al-Hâfizh Ibnu Hibbân dan al-Hâfizh adz-Dzahabî.

[10] Nama lengkapnya yaitu: ‘Ikrimah Maulâ ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. Ia (‘Ikrimah) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (‘Ikrimah) adalah seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Barbarî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû ‘Abdullâh. Tempat tinggalnya di Madînah. Ia (‘Ikrimah) wafat pada tahun 104 Hijriyah.

[11] Nama lengkapnya yaitu: Sa’îd bin Jubair bin Hisyâm. Ia (Sa’îd bin Jubair) merupakan seorang Tâbi’în pertengahan. Ia (Sa’îd bin Jubair) adalah seorang tsiqqah tsabat (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang yang konsisten). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Asadî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhamad. Tempat tinggalnya di Kûfah. Ia (Sa’îd bin Jubair) wafat di ‘Irâq pada tahun 94 Hijriyah.

[12] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdullâh bin ‘Abbâs bin ‘Abdul Muthallib bin Hâsyim. Ia (Ibnu ‘Abbâs) merupakan seorang Sahabat dan juga seorang pakar tafsîr (tafsir), fiqh (fikih), lughah (bahasa), Syi’ir (Sya’ir), farâidh (waris) dan hadîts (hadis). Serta ia (Ibnu ‘Abbâs) telah meriwayatkan 1.660 Hadîts. Semua Sahabat Nabi SAW. tsiqqah dan ‘âdl. Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Qurasyî al-Hâsyimî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû al-‘Abbâs. Laqab (gelar/titel) nya: Ibn ‘Abbâs, al-Hijr dan al-Bahr. Tempat tinggalnya di Marwa ar-Rawadz. Ia (Ibnu ‘Abbâs) wafat di Thâ-if pada tahun 68 Hijriyah.

[13] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[14] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

[15] Tsiqqât adalah: Para perawi hadis yang kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya.

[16] Al-Hâfizh adalah: Gelar ahli hadis yang dapat men-shahîh-kan sanad serta matan hadis, dan dapat men-ta’dîl-kan dan men-jarh-kan para perawi hadis, serta seorang Hâfizh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadis. Contoh para Huffâzh: Ahmad bin Hanbal, Yahyâ bin Ma’în, ‘Alî bin al-Madînî, Bukhârî, Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, ad-Dârimî, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, al-Bayhaqî, ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, Zainuddîn ‘Abdurrahîm al-‘Irâqî, Syarafuddîn ad-Dimyathî, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, al-Mizzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî, Abû Zar’ah ar-Râzî, Abû Hâtim ar-Râzî, Ibnu Hazm, Ibnu Abî Hâtim, Ibnu ‘Adî, Ibnu al-Mundzir, Ibnu ‘Abdul Bâr, Ibnu Katsîr, Ibnu as-Sakan, Jalâluddîn as-Suyûthî, Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, dan sebagainya.

[17] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Hâtim. Ia (Ibnu Abî Hâtim) adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-‘âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Nasab (keturunan) nya yaitu: ar-Râzî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Muhammad. Ia (Ibnu Abî Hâtim) adalah pakar tafsîr (tafsir) dan hadîts (hadis). Ia (Ibnu Abî Hâtim) wafat pada tahun 327 Hijriyah.

[18] Sanad adalah: Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan ke matan (redaksi/isi) hadis.

[19] Nama lengkapnya yaitu: Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmalî. Ia (Ibnu Jarîr) merupakan seorang tsiqqah ‘âlim (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang ‘âlim). Nasab (keturunan) nya yaitu: al-Âmalî. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Abû Ja’far ath-Thabarî. Laqab (gelar/titel) nya: Abâ at-Tafsîr dan Abâ at-Târîkh. Ia (Ibnu Jarîr) lahir di Thabari Sittân pada tahun 224 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Baghdâd. Ia (Ibnu Jarîr) wafat di Baghdâd pada tahun 310 Hijriyah.

[20] Imâm Ibnu Jarîr. 2001. Tafsîr ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta-wîl ay al-Qurân; Tahqîq Dr. ‘Abdullâh bin ‘Abdul Muhsin at-Tirkî. Kairo: Badâr Hajar. Cetakan Pertama, Juz. 2, halaman: 474.

[21] Nama lengkapnya yaitu: ‘Abdurrahmân bin Abî Bakr. Kuniyah (nama akrab) nya yaitu: Jalâluddîn. Laqab (gelar/titel) nya: as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî) adalah seorang tsiqqah al-Hâfizh (kredibel ke-âdl-an dan ke-dhabith-annya, serta seorang al-Hâfizh). Serta ia (as-Suyûthî) juga seorang pakar tafsîr (tafsir), hadîts (hadis), lughah (bahasa), adb (sastra), fiqh (fikih), târîkh (sejarah) dan sebagainya. Nasab (keturunan) nya yaitu: as-Suyûthî. Ia (as-Suyûthî) lahir di Qâhirah pada tahun 849 Hijriyah. Tempat tinggalnya di Qâhirah. Ia (as-Suyûthî) wafat di Qâhirah pada tahun 911 Hijriyah.

[22] Imâm Ibnu Jarîr, loc. cit.

[23] Atsar adalah: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tâbi’în, baik berupa perkataan dan perbuatan.

[24] Hadis Mawqûf yaitu: Sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan; baik bersambung sanadnya ataupun terputus sanadnya.

[25] Marfu’ maksudnya: Terangkatnya derajat hadis hingga ke Nabi SAW.

[26] Muhadditsîn yaitu: Orang yang hafal matan-matan hadis, mengetahui gharîb serta faqîh, hafal sanad, mengetahui ihwal para perawi, dapat membedakan atara yang shahîh dengan yang dha’îf, seorang penghimpun buku, penulis, pendengar, pencari sanad-sanad hadis, dan mengetahui sanad yang terpendek dari padanya. Contoh para Muhadditsîn: Imâm Mâlik, Imâm asy-Syâfi’î, Imâm Ahmad bin Hanbal, Imâm Bukhârî, Imâm Muslim, at-Tirmidzî, Abû Dâwud, an-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibbân, dan sebagainya.

[27] Hadis Shahîh ialah: Hadis yang bersambung (muttashil) sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘âdl (‘âdl yaitu: orang yang istiqamah dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muru’ah), sempurna ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz), dan tidak ada kecacatan (‘illat).

Selasa, 01 Mei 2012

SHALAT RAWATIB 4 RAKAAT DIPISAH DENGAN SALAM ATAU TIDAK ?


SHALAT RAWATIB 4 RAKAAT DIPISAH DENGAN SALAM ATAU TIDAK ?


Ada 2 pendapat mengenai dipisah atau tidaknya shalat Rawatib 4 raka’at. Adapun penjelasannya sebagaimana berikut:

1.  4 Raka’at Shalat Rawatib Dipisah Dengan Salam Pada Setiap Raka’at Kedua (2 raka’at salam, 2 raka’at salam)
Para ‘Ulamâ’ yang memisah shalat Rawatib 4 raka’at dengan salam yaitu: “IMÂM ASY-SYÂFI’Î DAN IMÂM AHMAD BIN HANBAL”. Mereka (Imâm asy-Syâfi’î dan Imâm Ahmad bin Hanbal) berdasarkan (berlandaskan) kepada Hadis sebagaimana di bawah ini:

Ini adalah lafazh Matan Sunan Abî Dâwud (No. Hadis: 1103):
حَدَّثَنَا عَمْرُوْ بْنُ مَرْزُوْقٍ, قَالَ: أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ, عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ, عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَارِقِيِّ, عَنِ ابْنِ عُمَرَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى.
“‘Amrû bin Marzûq telah bercerita kepada kami (kepada Abû Dâwud), dia (‘Amrû bin Marzûq) berkata: “Syu’bah telah mengabarkan kepada kami (kepada ‘Amrû bin Marzûq), dari Ya’lâ bin ‘Athâ’, dari ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, dari Nabi SAW; beliau SAW. bersabda: “SHALAT (SUNNAH/NAWÂFIL) pada malam dan SIANG HARI ADALAH 2 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM), 2 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM)”.[1]




2.   4 Raka’at Shalat Rawatib Tidak Dipisah (alias bersambung) Sampai Raka’at Terakhir (raka’at ke 4) Kemudian Salam
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa 4 raka’at shalat Rawatib tidak dipisah dengan salam yaitu: “JUMHÛR MUSLIMÎN”. Mereka (Jumhûr Muslimîn) berpendapat bahwa: “Hadis yang menerangkan shalat Rawatib 4 raka’at pada siang hari dipisah dengan salam (yaitu: riwayat ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar) adalah: HADIS SYADZDZ, karena Hadis tersebut bertentangan dengan periwayatan Mayoritas Ahli ‘Ilmu dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, sebagaimana dalam Shahîhayn (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim)”.[2]


Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în berkata: “Hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar (sebagaimana Hadis di atas) tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/landasan), karena ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ adalah perawi yang dha’îf (lemah). NÂFI’, ‘ABDULLÂH BIN DÎNÂR, SERTA JAMÂ’AH meriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Umar TANPA MENYEBUTKAN KATA “PADA SIANG HARI”. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Imâm Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa shalat 4 raka’at dipisah dengan salam yang mendasarkan kepada riwayat ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ adalah bathil (salah/keliru), karena RIWAYAT YANG BENAR (TEPAT) adalah sebagaimana (di bawah ini):
قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِيْنٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الْأَنْصَارِيُّ: عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَتَطَوَّعُ بِالنَّهَارِ أَرْبَعًا, لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ.
“Yahyâ bin Ma’în berkata: “Yahyâ bin Sa’îd al-Anshârŷ telah bercerita kepada kami (kepada Yahyâ bin Ma’în), dari Nâfi’, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, bahwa sesungguhnya dia (‘Abdullâh bin ‘Umar) SHALAT SUNNAH PADA SIANG HARI 4 RAKA’AT, TANPA MEMISAHKAN DI ANTARANYA (TANPA MEMISAHKAN DI ANTARA 4 RAKA’AT)”.

Dan juga sebagaimana Hadis Shahîh riwayat al-Hâfizh Ibnu Abî Syaibah dalam al-Mushannaf Abî Bakr Ibn Abî Syaibahnya (2/274):
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ, عَنْ عُبَيْدِ اللهِ, عَنْ نَافِعٍ, عَنِ ابْنِ عُمَرَ, أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ بِالنَّهَارِ أَرْبَعًا أَرْبَعًا.
“Ibnu Numair telah bercerita kepada kami (kepada Ibnu Abî Syaibah), dari ‘Ubaidillâh, dari Nâfi’, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, sesungguhnya dia (‘Abdullâh bin ‘Umar) SHALAT (SUNNAH) 4 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM), 4 RAKA’AT (KEMUDIAN SALAM)”.

Al-Hâfizh Yahyâ bin Ma’în melanjutkan perkataannya: “Dan masih banyak Hadis-hadis Shahîh yang lainnya”.[3]


Al-Hâfizh Ibnu ‘Abdul Bâr berkata: “Tidak ada seorang perawi pun yang meriwayatkan kata “PADA SIANG HARI” dari ‘Abdullâh bin ‘Umar kecuali ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ. Saya (al-Hâfizh Ibnu ‘Abdul Bâr) mendustai (mengingkari) periwayatan ‘Alî bin ‘Abdillâh al-Bâriqŷ”.[4]


Al-Hâfizh at-Tirmidzî berkata dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzînya (No. Hadis. 543): “Sebagian Muhadditsîn ada yang memarfu’kan Hadis riwayat ‘Abdullâh bin ‘Umar; sebagian Muhadditsîn yang lain juga ada yang memawqûfkan Hadis riwayat ‘Abdullâh bin ‘Umar. Akan tetapi Hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar yang BENAR (TEPAT) adalah tanpa kata “PADA SIANG HARI”, sebagaimana dalam Shahîhayn (Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim)”.


Al-Hâfizh an-Nasâ-î berkata dalam Sunan an-Nasâ-î al-Kubrânya (No. Hadis. 1648): “Menurut pendapat saya (al-Hâfizh an-Nasâ-î) Hadis ini (hadis ‘Abdullâh bin ‘Umar) yang tercantum kata “PADA SIANG HARI” adalah keliru (salah)”.



KESIMPULAN:
1.   Hadis yang dijadikan dasar Imâm asy-Syâfi’î dan Imâm Ahmad bin Hanbal adalah HADIS SYADZDZ dan DHA’ÎF, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (pedoman/lanadasan) dalam hukum Syarâ’ (Islam).
2.   Yang dapat kita jadikan hujjah (pedoman/landasan) adalah pendapat Jumhûr Muslimîn, karena mereka (Jumhûr Muslimîn) berdasarkan Hadis-hadis Shahîh dan keterangan-keterangan yang jelas (sharîh) dan kuat (rajîh).
3.   Shalat Rawatib 4 raka’at tidak boleh dipisah dengan salam. Karena tidak ada nash-nash yang sharîh (tegas) dan shahîh (sah) yang menerangkannya.
4.   Shalat Rawatib 4 raka’at boleh diselingi DENGAN TAHIYAT AWAL pada raka’at ke 2, sebagaimana pendapat ‘Abdullâh bin al-Mubârak, Sufyân ats-Tsaurŷ dan Muhammad bin Ishâq.
5.   Shalat Rawatib 4 raka’at boleh dilakukan secara langsung TANPA TAHIYAT AWAL, terus disambung hingga raka’at ke 4 kemudian salam, berdasarkan keumuman lafazh Hadis-hadis yang menerangkan shalat Rawatib 4 raka’at.
















[1] Hadis ini juga diriwayatkan oleh: al-Hâfizh at-Tirmidzî dalam (al-Jâmi’ ash-Shahîh Sunan at-Tirmidzî: No. Hadis. 389, 394 dan 543). Al-Hâfizh an-Nasâ-î dalam (Sunan an-Nasâ-î al-Kubrâ: No. Hadis. 1648). Al-Hâfizh Ibnu Mâjah dalam (Sunan Ibn Mâjah: No. Hadis. 1312). Al-Hâfizh Ahmad bin Hanbal dalam (Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal: No. Hadis. 4560 dan 4876). Al-Hâfizh ad-Dârimî dalam (Sunan ad-Dârimî: No. Hadis. 1510). Al-Hâfizh ath-Thabrânî dalam (al-Mu’jam al-Awsath: No. Hadis. 79, dan al-Mu’jam ash-Shaghîr: No. Hadis. 47). Al-Hâfizh ad-Dâruquthnî dalam (Sunan ad-Dâruquthnî: No. Hadis. 1565 dan 1566). Al-Hâfizh al-Bayhaqî dalam (as-Sunan al-Kubrâ li al-Bayhaqî: 2/487, versi Maktabah Syâmilah). Al-Hâfizh ‘Abdurrazzâq dalam (al-Mushannaf ‘Abd ar-Razzâq: 2/176, versi Maktabah Syâmilah). Al-Hâfizh Ibnu Khuzaymah dalam (Shahîh Ibn Khuzaymah: No. Hadis. 1146 atau 4/438, versi Maktabah Syâmilah). Al-Hâfizh Ibnu Hibbân dalam (Shahîh Ibn Hibbân: No. Hadis. 2496, 2528, 2529 dan 2541).

[2] At-Talkhîsh al-Habîr fî Takhrîj Ahâdîts ar-Râfi’î al-Kabîr, karya al-‘Allâmah Sirâjuddîn ‘Umar bin ‘Alî al-Anshârŷ; Hadis No. 544.

[3] Ibid.

[4] Ibid.